Jual Probiotik : Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens, Lactobacillus
Telp. 087875885444
Pada awal tahun 2018, pemerintah membuat suatu
kebijakan pelarangan terkait dengan pemakaian imbuhan pakan ternak, Antibiotic
Growth Promoters (AGP) dan Ractopamine. Residu AGP dari hasil produksi ternak,
dikhawatirkan menimbulkan resistensi bagi orang yang mengkonsumsi daging atau
telur. Pelarangan penggunaan AGP berakibat meningkatnya penyakit pada
hewan ternak unggas, baik petelur maupun pedaging sehingga menurunkan
produktifitas secara signifikan.
Antibiotik
pada dunia perunggasan memiliki peran sebagai: Terapeutik, artinya antibiotik
diberikan kepada hewan sakit agar sembuh dari agen penyakit kausatifnya.
Metafilaksis (kontrol), artinya antibiotik diberikan kepada hewan suspek pada
daerah yang ditemukan penyakit agar mengurangi penyebaran penyakit. Profilaksis
(pencegahan), artinya antibiotik diberikan kepada hewan sehat untuk memberikan
proteksi agar tidak terkena penyakit. Antibiotic Growth Promoter / AGP
(antibiotik imbuhan pakan), artinya antibiotik diberikan untuk mengeliminir
bakteri merugikan saluran pencernaan agar mendapatkan bobot badan serta rasio
konversi pakan yang lebih baik.
AGP
sendiri diberikan pada unggas dengan dosis sub-terapeutik atau dibawah dosis
normal untuk terapi. Karena target AGP sendiri adalah kepada bakteri pada permukaan
saluran pencernaan, sehingga pemberian dosis sub-terapeutik diharapkan tidak
terdistribusi jauh hingga ke dalam organ dan tidak meninggalkan residu pada
daging dan telur saat dipanen. Kelarutan dari jenis antibiotik juga berpengaruh
terhadap distribusi obat tersebut di dalam tubuh, seperti contoh AGP jenis
Flavomisin yang larut air dan polar menyebabkan pemberian dosis tinggi tidak
diserap tubuh dan tidak memerlukan waktu henti (withdrawal time) untuk residu.
Berbeda dengan jenis Oksitetrasiklin yang sangat larut lemak dan tidak polar
menyebabkan pemberian dosis rendah tetap diserap tubuh dan memerlukan waktu henti untuk residu dapat
hilang.
WHO
melakukan upaya pengurangan penggunaan antibiotik secara berlebihan pada peternakan
dan perikanan. Di Indonesia mulai diberlakukan pelarangan penggunaan pakan yang
dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan berdasarkan
undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014.
Walaupun undang-undangnya sudah ada, namun hingga tahun ini antibiotik imbuhan
pakan belum sepenuhnya dapat dieliminasi. Hal ini dikarenakan jika langsung
dihilangkan begitu saja, maka industri perunggasan dapat mengalami krisis.
Diantaranya konversi pakan membengkak dan deplesi yang tinggi akibat Necrosis
Enteritis.
Pelarangan
AGP dikarenakan sudah tingginya kejadian
resistensi bakteri terhadap banyak jenis antibiotik, bahkan antibiotik yang
dipersiapkan untuk menangani kasus bakteri multi-resisten. Sebagai contoh kasus
infeksi seperti yang disebabkan oleh VRE (Vancomycin-resistant Enterococci)
atau CRE (Carbapenem-resistant Enterobacteriaceae) tentu akan sangat sulit
untuk diobati. AGP sendiri telah terbukti dapat menyebabkan resistensi silang
antara antibiotik dalam satu golongan. Sebagai contoh Virginiamisin yang hanya
diberikan kepada hewan sebagai AGP dapat menyebabkan resistensi silang dengan
Quinupristin/Dalfopristin yang merupakan antibiotik second-line pada manusia.
Hal ini dikarenakan keduanya masuk dalam golongan antibiotik yang sama, yakni
Streptogramin. Resistensi silang ini menyebabkan kekebalan bakteri jenis
tertentu terhadap semua jenis antibiotik Streptogramin, walaupun manusia yang
terinfeksi bakteri tersebut belum pernah meminum antibiotik golongan
Streptogramin sebelumnya.
Di
negara besar lainnya sendiri sebenarnya terdapat beberapa regulasi yang
berbeda-beda. Amerika Serikat dan Kanada melarang penggunaan golongan
antibiotik yang penting di manusia sebagai AGP. Golongan antibiotik yang
penting adalah daftar golongan antibiotik yang dikeluarkan oleh WHO yang
dianggap vital bagi manusia karena keefektivitasannya dalam mengobati
penyakit. Prakteknya adalah antibiotik
seperti Avoparcin yang merupakan AGP yang hanya dipakai untuk hewan, namun
karena tergolong antibiotik golongan Glikopeptida (Vancomisin) yang termasuk
penting di manusia sehingga tidak diperbolehkan digunakan sebagai AGP.
Sedangkan golongan antibiotik yang tidak digunakan pada manusia seperti
Flavofosfolipol (Flavomisin / Bambermisin) atau Ionofor masih dapat
dipergunakan sebagai AGP.
Di
Eropa sendiri tertanggal 1 januari 2006 telah melarang semua jenis antibiotik
yang ditujukan sebagai Growth Promoter, baik yang digunakan di manusia ataupun
tidak. Artinya AGP seperti Flavomisin juga dilarang dipergunakan. Walapun
demikian, Ionofor (Monensin, Salinomisin, Lasalocid, dll), salah satu jenis
antibiotik yang ditujukan untuk mengatasi koksidia, masih diperbolehkan
digunakan di unggas sebagai pencegahan koksidia dan NE, walaupun penggunaannya
pada ruminansia telah dilarang karena tujuannya lebih sebagai AGP.
Sebenarnya
telah banyak penemuan dan produsen obat yang menawarkan pengganti AGP ini,
mulai dari enzim, minyak esensial, asam organik, probiotik, prebiotik, dll yang
terbukti dapat mengeliminir bakteri yang merugikan pada saluran pencernaan.
Walaupun demikian, penggunaanya tanpa perbaikan mutu pakan di feedmill atau
perbaikan manajemen di farm akan sangat tidak mungkin dapat dilakukan demi
mendapatkan performa yang maksimal. Perbaikan di feedmill seperti perbaikan
kecernaan pakan atau manajemen ammonia di farm tentu akan sangat membantu
pengganti AGP tersebut dalam mengontrol flora di saluran pencernaan.
Pada
akhirnya, AGP sebenarnya sangat diperlukan di unggas. Namun karena dampak
negatifnya terhadap manusia, penggunaan antibiotik hendaknya dikembalikan lagi
hanya sebagai terapeutik. Penambahan pengganti AGP, perbaikan pakan di feedmill
dan manajemen di farm harus dilakukan secara holistik untuk menjaga agar
performa unggas tetap baik walaupun AGP telah diberhentikan. Pengawasan
penggunaan antibiotik di hewan, baik unggas khususnya atau hewan lain pada
umumnya juga harus lebih diperketat oleh dokter hewan (antibiotic stedwardship),
karena pada prinsipnya kasus resistensi disebabkan karena pemberian antibiotik
yang tidak tepat sasaran. Pengetahuan dokter hewan mengenai antibiotik juga
harus diperdalam, sehingga pada saat menangani suatu kasus dapat memberikan
antibiotik secara akurat, tepat dan benar, sehingga kejadian resistensi silang
dapat ditekan.
No comments:
Post a Comment