Pengertian Polylactic Acid
Kemajuan
jaman yang semakin modern, telah mengubah gaya hidup manusia serba instan.
Kemajuan di bidang teknologi pangan, telah menghasilkan berbagai jenis makanan
dalam kemasan yang siap dipasarkan dengan jangkauan yang luas. Teknologi
kemasan sangat berperan besar dalam pengembangan produk pangan dan dunia
pemasaran. Berbagai jenis kemasan dalam produk pangan umumnya menggunakan
plastik dan kaleng. Kedua jenis kemasan tersebut merupakan bahan sintetis yang
tidak terbarukan secara alami, sehingga dapat menyebabkan masalah lingkungan.
Permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh bahan sisa industry seringkali
menimbulkan berbagai dampak negative bagi masyarakat atau bagi produsen itu
sendiri. Oleh karena itu, para pemerhati
lingkungan sudah semakin kritis untuk mencarikan solusi tersebut.
Salah
satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan adanya temuan bahan bioplastik atau plastik organik yang
terbuat dari sumber biomassa terbarukan, seperti minyak nabati, pati jagung, pati
singkong, pati kacang polong dengan memanfaatkan mikrobia yang menghasilkan
asam laktat. Bioplastik pada umumnya bersifat dapat terdegradasi secara alami. Perkembangan
kearah plastik komersial memang masih lambat, disebabkan karena harganya mahal
dan sifatnya lain dari plastik konvensional. Namun, dewasa ini dengan isu
menipisnya cadangan minyak bumi maka bioplastik menjadi kompetitif dibanding
plastik lainnya. Saat ini, bioplastik mulai banyak diminati dan mulai
dikembangkan lebih intensif.
Plastik
biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi
hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke
lingkungan. Plastik biodegradable adalah polimer yang dapat berubah menjadi
biomassa, H2O, CO2 dan atau CH4 melalui
tahapan depolimerisasi dan mineralisasi. Depolimerisasi terjadi karena kerja enzim
ekstraseluler (terdiri atas endo dan ekso enzim). Endo enzim memutus ikatan
internal pada rantai utama polimer secara acak, dan ekso enzim memutus unit
monomer pada rantai utama secara berurutan. Bagian-bagian oligomer yang
terbentuk dipindahkan ke dalam sel dan menjadi mineralisasi. Proses
mineralisasi membentuk CO2, CH4, N2, air, garam-garam, mineral dan biomassa.
Definisi
polimer biodegradable dan hasil akhir yang terbentuk dapat beragam bergantung
pada polimer, organisme, dan lingkungan. Polimer biodegradable dikelompokan ke
dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok utama adalah: (1)
agro-polymer yang terdiri dari polisakarida, protein dan sebagainya; dan (2)
biopoliester (biodegradable polyesters) seperti poli asam laktat (PLA), polyhydroxyalkanoate
(PHA), aromatik and alifatik kopoliester.Biopolymer yang tergolong agro-polymer
adalah produk-produk biomassa yang diperoleh dari bahan-bahan pertanian.
seperti polisakarida, protein dan lemak. Biopoliester dibagi lagi berdasarkan
sumbernya. Kelompok Polyhydroxy-alkanoate (PHA) didapatkan dari aktivitas
mikroorganisme yang didapatkan dengan cara ekstraksi. Contoh PHA diantaranya
Poly(hydroxybutyrate) (PHB) dan Poly(hydroxybutyrate co-hydroxyvalerate)
(PHBV). Kelompok lain adalah biopoliester yang diperoleh dari aplikasi
bioteknologi, yaitu dengan sintesa secara konvensional monomer-monomer yang
diperoleh secara biologi, yang disebut kelompok polilaktida. Contoh polilaktida
adalah poli asam laktat. Kelompok terkahir diperoleh dari produk-produk
petrokimia yang disintesa secara konvensioonal dari monomer-monomer sintetis.
Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL), polyesteramides, aliphatic
co-polyesters dan aromatic co-polyesters.
Poli
asam laktat (PLA) ditemukan pada tahun 1932 oleh Carothers (DuPont) yang
memproduksi PLA dengan berat molekul rendah dengan memanaskan asam laktat pada
kondisi vakum. Kemudian, DuPont dan Ethicon memfokuskan pembuatan aplikasi
medical grade satures, implan dan kemasan obat. Baru-baru ini, beberapa
perusahaan seperti Shimadzu dan Mitsui Tuatsu di Jepang telah memproduksi
sejumlah PLA untuk aplikasi plastik. Poli asam laktat atau Poli laktida (PLA)
dengan rumus kimia (CH3CHOHCOOH)n adalah sejenis polimer atau plastik yang
bersifat biodegradable, thermoplastic dan merupakan poliester alifatik yang
terbuat dari bahan-bahan terbarukan seperti pati jagung atau tanaman tebu.
Kelebihan
PLA sebagai bioplastik yaitu bersifat biodegradadable, artinya dapat diuraikan
secara alami di lingkungan oleh mikroorganisme. Biocompatible, dimana pada
kondisi normal, jenis plastik ini dapat diterima oleh sel atau jaringan
biologi. Dihasilkan dari bahan yang dapat diperbaharui (termasuk sisa industri)
dan bukan dari minyak bumi. 100% recyclable, melalui hidrolisis asam laktat dapat
diperoleh dan digunakan kembali untuk aplikasi yang berbeda atau bisa
digabungkan untuk menghasilkan produk lain. Tidak menggunakan pelarut
organik/bersifat racun dalam memproduksi PLA. Dapat dibakar sempurna dan
menghasilkan gas CO2 dan air.
PLA
sudah banyak digunakan untuk beragam aplikasi, diantaranya dibidang medis,
kemasan dan tekstil. Dibidang medis, PLA sudah lama digunakan sebagai benang
jahit pada saat operasi serta bahan pembungkus kapsul. Selain itu pada
dasawarsa terakhir PLA juga dikembangkan dalam upaya perbaikan jaringan tubuh
manusia. PLA juga telah dikembangkan untuk pembuatan kantong plastik (retail
bags), kontainer, bahkan edible film untuk sayuran dan buah. Dalam bentuk film
dan bentuk foam digunakan untuk pengemas daging, produk susu, atau roti. Dapat
juga digunakan dalam bentuk botol dan cangkir sekali pakai untuk kemasan air,
susu, jus dan minuman lainnya. Piring, mangkok, nampan, tas, film pertanian
merupakan penggunaan lain dari jenis plastik ini.Selain itu dibidang tekstil
PLA juga telah diaplikasikan untuk pembuatan kaos dan tas. Di Jepang, PLA
bahkan sudah dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan compact disc .
Proses
produksi PLA terdiri dari beberapa langkah, dimulai dari produksi asam laktat
sampai pada tahap polimerisasi. Poli asam laktat dapat diprodukksi melalui tiga
metode, yaitu: (1) Polikondensasi langsung (direct condensation-polymerization)
asam laktat yang menghasilkan PLA dengan berat molekul rendah dan rapuh
sehingga sebagian besarnya tidak dapat digunakan kecuali jika ditambahkan chain
coupling agentuntuk meningkatkan panjang rantai polimer; (2) Kondensasi
dehidrasi azeotropik (Azeotropic dehydration condensation) asam laktat dengan
menggunakan pelarut azeotropik, yang dapat menghasilkan PLA dengan berat
molekul mencapai 15.400 dan rendemen sebesar 89% dan (3) polimerisasi pembukaan
cincin (ring opening polymerization, ROP), yang dilakukan melalui tiga tahapan
yaitu polikondensasi asam laktat, depolimerisasi sehingga membentuk dimer
siklik (lactide) dan dilanjutkan dengan polimerisasi pembukaan cincin, sehingga
diperoleh PLA dengan berat molekul tinggi. Polimerisasi pembukaan cincin
menghasilkan PLA dengan berat molekul 2×104 hingga 6.8×105.
Produksi Asam Laktat
Langkah
pertama dalam sintesa PLA adalah produksi asam laktat. Asam laktat (IUPAC:
2-hydroxypropanoic acid) yang biasa disebut sebagai asam susu adalah salah
bahan kimia yang berperan penting dalam industri biokimia. Asam laktat pertama
kali berhasil diisolasi oleh ahli kimia Swedia, Carl Wilhelm Scheele pada tahun
1780. Asam laktat mempunyai rumus kimia C3H6O3, termasuk keluarga asam hidroksi
propionat dengan rumus molekul CH3CHOHCOOH. Asam laktat dalam larutan akan
kehilangan satu proton dari gugus asam dan menghasilkan ion laktat
CH3CH(OH)COO-. Asam laktat larut dalam air dan etanol serta bersifat
higroskopik (http://en.wikipedia.org/wiki/Lactic_acid).
Asam laktat
adalah cairan pekat tak berwarna, tak berbau, larut di dalam air dalam berbagai
perbandingan, alkohol dan eter tetapi tidak larut dalam kloroform. Senyawa ini
termasuk asam lemah dengan daya penguapan yang rendah. Asam ini memiliki sebuah
atom asimetri. Di alam terdapat dalam bentuk D-, L- dan DL-. Asam laktat dapat
dihasilkan melalui proses fermentasi atau secara sintesis kimiawi. Reaksi dasar
proses kimiawi adalah mengubah laktonitril (asetaldehid sianohidrin) menjadi
asam laktat. Beberapa metode kimia yang memungkinkan sintesis asam laktat
adalah degradasi gula dengan alkali seperti kapur atau NaOH, interaksi
asetaldehid dan karbonmonoksida pada suhu dan tekanan yang dinaikkan, dan
hidrolisa dari asam α-kloropropionat.
Metoda
yang paling banyak digunakan oleh industri untuk menghasilkan asam laktat
adalah dengan teknik fermentasi. Menurut Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal (2000),
dari 80.000 ton dari asam laktat yang dihasilkan di seluruh dunia setiap tahun
sekitar 90% dibuat dengan cara fermentasi bakteri asam laktat dan sisanya
dihasilkan melalui sintesis kimia yaitu hidrolisis laktonitril. Salah satu
keunggulan metode fermentasi adalah asam laktat yang dihasilkan bisa diatur
hanya terdiri dari satu enantiomer berdasarkan bakteri yang digunakan
(Hofvendahl dan Hahn–Hägerdal, 2000). Proses fermentasi dapat digolongkan
berdasarkan jenis bakteri yang digunakan; (1) metoda heterofermentatif,
menghasilkan kurang dari 1.8 mol asam laktat per mol heksosa dengan hasil
fermentasi lainnya dengan jumlah yang signifikan diantaranya asam asetat,
etanol, gliserol, manitol dan karbondioksida; (2) metoda homofermantatif yang
hanya menghasilkan asam laktat, atau menghasilkan produk samping dengan jumlah
yang sangat kecil. Metoda homofermentatif ini banyak digunakan di industri,
dengan konversi yield glukosa menjadi asam laktat lebih dari 90% (Hofvendahl
dan Hahn–Hägerdal, 2000).
Langkah
selanjutnya dari sintesa PLA adalah polimerisasi asam laktat. Polimerisasi asam
laktat sendiri terdiri dari tiga mtode, yaitu:
a. Polimerisasi PLA dengan metode
Polikondensasi Langsung
Polimerisasi
kondensasi adalah metoda paling murah untuk menghasilkan PLA, namun sangat
sulit untuk mendapatkan PLA dengan berat molekul yang tinggi (Averous, 2008).
Polikondensasi langsung (konvensional) ini dimungkinkan, menurut Hasibuan
(2006), karena adanya gugus hidroksil dan karboksil pada asam laktat. Namun,
reaksi polikondensasi konvensional asam laktat ini tidak cukup dapat
meningkatkan bobot molekulnya dan pada metode ini dibutuhkan waktu yang sangat
lama karena sulitnya untuk mengeluarkan air dari produk yang memadat, sehingga
produk air yang dihasilkan justru akan menghidrolisis polimer yang terbentuk.
Reaksi polikondensasi konvensional hanya mampu menghasilkan PLA denggan bobot
kurang dari 1,6×104 (Hyon et al, 1998 dalam Hasibuan, 2006) yang cirinya
seperti kaca yang getas (britle). Pada perkembangannya, polikondensasi langsung
ini selalu melibatkan pengurangan kadar air hasil kondensasi dengan menggunakan
pelarut pada tekanan vakum dan temperatur tinggi.
Berat
molekul dapat ditingkatkan dengan penggunaan coupling atau
esterification-promoting agentsyang berfungsi memperpanjang ikatan kimia, namun
biaya produksi meningkat karena proses yang cukup rumit dan panjang (multistep
process). Chain-extending agents berfungsi untuk mereaksikan gugus hidroksil
(OH) atau karboksil yang berada di ujung molekul PLA sehingga membentuk polimer
telechelic.Penggunaan agen ini memberikan beberapa keuntungan karena reaksi
hanya melibatkan sedikit agen dan bisa diselesaikan tanpa perlu dipisahkan
dengan proses yang lain. Kemampuan untuk mengembangkan desain kopolimer dengan
gugus fungsi yang beraneka macam juga bisa diperluas. Kelemahannya adalah
polimer mungkin masih mengandung chain-extending agents yang tidak bereaksi,
oligomer dan sisa-sisa pengotor logam yang berasal dari katalis. Beberapa
chain-extending agents juga dapat mengurangi sifat biodegradabilitas polimer.
Beberapa agen yang digunakan diantaranya anhydride, epoxide and isocyanate.
Produk-produk seperti ini digunakan untuk pengembangan PLA yang cocok untuk
bahan dasar pencampuran (PLA-based blends). Kelemahan penggunaan isosianat
sebagai chain extenders adalah sifatnya yang beracun (eco-toxicity). Keuntunggan
penggunaan esterification-promoting adjuvents adalah produk akhir dengan
kemurnian yang tinggi dan bebas dari sisa-sisa katalis dan/atau oligomer.
Kekurangannya adalah biaya yang tinggi sehubungan dengan banyaknya tahap yang
dilibatkan dan pemurnian tambahan dari residu dan produk samping, karena produk
samping yang dihasilkan harus dinetralkan atau bahkan dihilangkan.
b. Polimerisasi PLA dengan metode
Polikondensasi Azeotropik
Reaksi
polikondensasi azeotropik merupakan modifikasi dari reaksi polikondensasi
konvensional yang dapat menghasilkan bobot molekul yang lebih tinggi (Ajioka et
al, 1998 dalam Hasibuan, 2006), dan tidak menggunakan chain-extenders atau
adjuvents dan beberapa kelemahannya (Averous, 2008). Mitsui Chemical (Jepang)
telah mengkomersialkan proses ini dimana asam laktat dan katalis di-dehidrasi
secara azeotropik dalam sebuah refluxing, pemanasan dengan temperatur tinggi,
pelarut aprotic pada tekanan rendah untuk menghasilkan PLA dengan berat molekul
mencapai ≥ 300.000.
Reaksi
polikondensasi azeotropik menggunakan pelarut seperti difenil eter, xilena,
bifenil dan klorobenzena untuk memudahkan pemisahan air dari produk pada
atmosfer normal atau tekanan rendah. Reaksi ini juga dapat menggunakan berbagai
jenis katalis seperti asam protonat, logam, oksida logam, logam halida dan
garam asam organik dari logam. Logam memiliki orbital p dan d yang bebas dan
dapat menginisiasi terbentuknya kompleks koordinasi. Salah satu logam yang yang
dapat digunakan sebagai katalis reaksi polikondensasi azeotropik adalah logam
timah. Logam timah memiliki toksisitas yang rendah, merupakan katalis yang
direkomendasikan FDA dan dapat dipisahkan dari polimer setelah polimerisasi.
Fungsinya adalah untuk mempercepat reaksi pembentukan PLA. Polikondensasi
azeotropik dalam larutan dapat mencegah terjadinya reaksi pesaing, yaitu
pembentukan laktida dan reaksi degradasi PLA yang terbentuk (Hasibuan, 2006). Optimasi
reaksi polimerisasi asam laktat dengan metode polikondensasi azeotropik dicapai
pada lama polimerisasi 30 jam dan konsentrasi katalis logam timah 0.5%. Namun,
untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang lebih besar perlu dikembangkan
proses polimerisasi dengan pelarut yang memiliki titik didih yang lebih tinggi
dari xilena, seperti pelarut difenil eter dan o-klorotoluen.
c. Polimerisasi PLA dengan metode Ring
Opening Polymerization
Ring
opening polymerization (ROP, reaksi polimerisasi pembukaan cincin) merupakan
metoda yang lebih baik untuk menghasilkan PLA dengan bobot molekul yang tinggi,
dan sekarang telah diadaptasi untuk proses komersial seiring dengan kemajuan
teknologi fermentasi dekstrosa jagung. Metoda ini pertama kali diperkenalkan
oleh Carothers pada tahun 1932, namun belum bisa menghasilkan PLA dengan bobot
molekul yang tinggi sampai teknik pemurnian asam laktat membaik, seperti yang
dikembangkan oleh DuPont pada tahun 1954. Mekanisme-mekanisme ROP bisa berupa
reaksi ionik (anionik atau kationik) atau coordination–insertion, bergantung
kepada sistem katalisnya. Secara umum, proses ROP pada produksi PLA dimulai
dari polimerisasi kondensasi asam laktat untuk menghasilkan PLA dengan bobot
molekul rendah (prepolimer), dilanjutkan dengan depolimerisasi untuk
menghasilkan dimer laktida yang berbentuk molekul siklik. Laktida kemudian
dengan bantuan katalis dipolimerisasi ROP untuk menghasilkan PLA dengan bobot
molekul yang tinggi.
d.Aplikasi PLA Sebagai Pengganti Plastik
Konvensional
Poli
asam laktat bersifat termoplastik, memiliki kekuatan tarik dan modulus polimer
yang tinggi, bobot molekul dapat mencapai 100.000 hingga 500.000, dan titik
leleh antara 175-200ºC (Oota, 1997 dalam Hartoto et al, 2005 dan physical
properties PLA). Pada umumnya PLA dipergunakan untuk menggantikan bahan yang
transparan dengan densitas dan harga tinggi. Bahan plastik yang digantikan dari
jenis PET (1.4 g/cc, 1.4 usd/kg), PVC lentur (1.3 g/cc, 1 usd/kg) dan selofan
film. Dibanding PP (0.9 g/cc, 0.7 usd/kg) dan HIPS (1.05 g/cc, 1 usd/kg), PLA
dapat dikatakan kurang menguntungkan, namun mempunyai kelebihan lain yaitu
ramah lingkungan. PP dan HIPS berasal dari minyak bumi dan jika dibakar akan
menimbulkan efek pemanasan gobal.
Kelebihan
PLA pada jenis BOPLA (bioriented PLA atau bentuk stretch dua arah) dimana twist
dan deadfold mirip seperti selofan dan PVC, karena itu BOPLA dipergunakan juga
untuk film yang tipis untuk pembungkus permen. BOPLA mempunyai barier yang
bagus untuk menahan aroma, bau, molekul solven dan lemak sebanding dengan PET
atau nilon 6. Sebagai bahan polar PLA mempunyaii tegangan 38 dynes/cm2 sehingga
mudah untuk di-print dengan berbagai tinta tanpa proses ‘flame dan corona‘
seperti halnya BOPP atau film yang lain. PLA merupakan peyekat yang bagus
dengan suhu gelas atau Tg 55-65 deg, inisiasi sealing bisa dimulai pada suhu 80
deg sama dengan sealant dari 18% EVA. Gabungan antara kemudahan untuk di-seal
dan tingginya barier untuk aroma dan bau maka PLA dapat digunakan sebagai
lapisan paling dalam untuk pengemas makanan.
Kekurangan
PLA adalah densitas lebih tinggi (1.25 g/cc) disbanding PP dan PS dan mempunyai
polaritas lebih tinggi sehingga sulit direkatkan dengan PE dan PP yang non
polar dalam system film multi lapis. PP mempunyai densitas 0.9 g/cc, denga
harga 0.7 usd per kg dan HIPS mempunyai densitas 1.05 g/cc dan harga 1 usd per
kg. PLA juga mempunyai ketahanan panas, moisture dan gas barier kurang bagus
dibanding dengan PET. Hal lain yang paling penting adalah harganya yang masih
tinggi yaitu 2.6 usd per kg. usaha untuk menurunkan harga teruus dilakukan oleh
Cargill Dow hingga 2 usd per kg supaya kompetitif. Sifat barier terhadap uap
air, oksigen dan CO2 lebih rendah disbanding PET, PP atau PVC. Perbaikan sifat
barier dapat dilakukan dengan system laminasi dengan jenis film lain seperti
PE, PVOH, Alufoil, Nanopartikel dan lainnya.
No comments:
Post a Comment