Sekstor perikanan adalah sektor
ekonomi yang sedang digalakan di seluruh dunia. Permintaan komoditas
ikan yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan
semakin meningkatnya industri perikanan di beberapa negara termasuk
Indonesia. Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan perairan
daratan yang potensial untuk dikembangkan industri perikanan. Produksi
ikan nasional berasal dari ikan tangkap dan hasil budidaya. Kegiatan
budidaya ikan secara intensif mulai berkembang di Indonesia seiing
dengan meningkatnya permintaan pasar, baik domestik maupun luar negeri.
Budidaya ikan air tawar yang sedang popular seperti nila, patin, mujair,
lele, mujair dan lain-lain. Saat ini juga sedang digalakan
tambak-tambak udang di tepi pantai atau perairan darat, jenis udang yang
banyak dibudidauyakan adalah jenis udang vannamei, galah, dan lobster.
Penerapan sistem budidaya intensif dan ramah lingkungan sangat
diperlukan guna meningkatkan produksi. Tingginya angka kematian dan
rendahanya konversi pakan (FCR) menyebabkan menurunya produksifitas.
Tingginya angka kematian seringkali disebabkan oleh faktor cuaca atau
penyakit. Faktor cuaca yang ekstrim seperti hujan yang terus menerus dan
suhu yang dingin seringkali menjadi penyebab kegagalan panen pada
budidaya udang vannamei. Selain itu, faktor penyebabkan kematian juga
dapat disebabkan oleh racun amoniak dan nitrit hasil sisa pakan dan juga
limbah berbahaya yang mencemari lingkungan. Untuk menekan angka
kematian, para pelaku usaha budidaya perikanan umumnya menggunakan bahan
obat-obatan kimia. Penggunaan obat-obatan kimia memang mampu secara
efektif menekan berkembangnya penyakit, namun disisi lain efek
negatifnya adalah residu bahan kimia pada kimia dapat menjadi masalah
kesehatan bagi manusia. Di beberapa negara maju sudah mulai mensyaratkan
komoditi ikan yang masuk ke negaranya harus bebas residu kimia. Oleh
karena itu pentingnya para pembudidaya perikanan di Indonesia untuk
menerapkan best aquaculture practices dalam sertifikasi produk
akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah
lingkungan.
Perkembangan teknologi akuakultur saat ini perlu memfokuskan pada upaya
budidaya perikanan yang ramah lingkungan. Saat ini para pembudidaya
sudah mulai memanfaatkan mikroba probiotik untuk menekan bakteri
pathogen dan memperbaiki kondisi lingkungan air (bioremediasi).
Penggunaan probiotik untuk sektor perikanan cukup efektif untuk menekan
tingkat kematian dan meningkatkan produksi. Beberapa jenis mikroba mampu
meningkatkan konversi pakan (FCR) seperti golongan Lactobacillus.
Beberapa jenis mikroba juga mampu menetralisir racun amoniak dan nitrit
sisa pakan yang dapat membunuh ikan, beberapa jenis mikroba jenis ini
antara lain adalah Nitrobacter, Nitrosomonas, dll. Amoniak (NH3)
merupakan hasil dari katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik
yang tidak terionisasi melalui insang. Amoniak mengandung unsure
Nitrogen dan Hidrogen. Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal
dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 -
60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang
dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney,
2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian
akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam
air. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total
nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al.,
2003).
Beberapa jenis mikroba mampu merombak limbah menjadi bioflock yang dapat
menjadi sumber pakan ikan. Penelitian dan penerapan Biofloc adalah
sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk
mensubtitusi penggunaan plankton. Bioflok atau Flok merupakan istilah
bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge” (“Lumpur
Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah
(biological wastewater treatment). Salah satu ciri khas bakteri
pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli
hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli
β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk
pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk
bioflocs. Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan
selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat
hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell),
ragi, jamur dan zooplankton. Bakteri yang mampu membentuk bioflocs
diantaranya: Zooglea ramigera, Escherichia intermedia,
Paracolobacterium aerogenoids, Bacillus subtilis, Bacillus cereus,
Flavobacterium, Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus natans, Tetrad
dan Tricoda
Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam
mengatasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari
teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006;
de Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam
teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada
kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik
yang terdapat di dalam air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri
heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut
(Ebeling et al., 2006): Secara teoritis untuk mengkonversi setiap gram N
dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik dalam bentuk
karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g
oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa rasio C/N yang
diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem
akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi.
Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa
immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat
daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al.
(2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat
mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari.
Kondisi yang mendukung pembentukan Bioflocs; Aerasi dan pengadukan
(pergerakan air oleh aerator), Karbon dioksida (CO2)
a. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD),
kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus
sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu
luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan mengendap
relatif kecil.
b. Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida menjadi salah satu kunci terpenting bagi pembentukan dan
pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen seperti
bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus,
photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi
dan Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia (
Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk
pembentukan selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari
bahan organic semisal karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga
Zooglea, Flavobacterium, tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs
lainnya. Bahkan Bacillus sendiri, sebagai pemanfaat karbon dari bahan
organik dan menghasilkan gas karbon dioksida sebagai hasil oksidasinya,
memerlukan karbondioksida dalam pernafasan anaerobnya ketika
melangsungkan reaksi denitrifikasi.
No comments:
Post a Comment