Tuesday, May 1, 2018

Karakteristik Dan Pemanfaatan Bakteri Acetobacter xylinum





087875885444
Jual Bibit Bakteri Acetobacter xylinum


Acetobacter xylinum adalah salah satu jenis bakteri yang banyak bermanfaat dalam dunia industri seperti nata de coco, nata de cassava, nata de soya, tepung mocaf, dan lain-lain. Acetobacter xylinum merupakan bakteri yang menguntungkan dan tidak berbahaya. Bakteri ini mampu memfermentasi bahan menghasilkan bahan selulosa. Acetobacter xylinum telah banyak berjasa menghasilkan produk bernilai ekonomis sehingga perlu dikembangkan terus pemanfaatannya dalam bioeteknologi diberbagai bidang. Bakteri ini merupakan jenis bakteri asam yang mudah pertumbuhannya dan mudah pengembangbiakannya.
 Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, mempunyai panjang kurang lebih 2 mikron dan permukaan dindingnya berlendir. Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan asam organik lain pada waktu yang sama, dan mempolimerisasi glukosa sehingga terbentuk selulosa. Acetobacter xylinum memiliki ciri-ciri antara lain merupakan gram negatif pada kultur yang masih muda, sedangkan pada kultur yang sudah tua merupakan gram positif, bersifat obligat aerobic artinya membutuhkan oksigen untuk bernafas, membentuk batang dalam medium asam, sedangkan dalam medium alkali berbentuk oval, bersifat non mortal dan tidak membentuk spora, tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak mereduksi nitrat dantermal death point pada suhu 65-70°C.
Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel secara teratur, mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian. Acetobacter xylinum akan mengalami fase adaptasi terlebih dahulu jika dipindahkan ke dalam media baru. Pada fase ini terjadi aktivitas metabolisme dan pembesaran sel, meskipun belum mengalami pertumbuhan. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa. Fase pertumbuhan lambat terjadi karena nutrisi telah berkurang, terdapat metabolit yang bersifat racun yang menghambat pertumbuhan bakteri dan umur sel sudah tua. Pada fase ini pertumbuhan tidak stabil, tetapi jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak dibanding jumlah sel mati. Fase pertumbuhan tetap terjadi keseimbangan antara sel yang tumbuh dan yang mati. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini. Fase menuju kematian terjadi akibat nutrisi dalam media sudah hampir habis. Setelah nutrisi habis, maka bakteri akan mengalami fase kematian. Pada fase kematian, sel dengan cepat mengalami kematian tidak baik untuk dijadikan strain nata.
Pertumbuhan Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kandungan nutrisi meliputi jumlah karbon dan nitrogen, tingkat keasaman media, pH, temperatur, dan udara (oksigen). Suhu optimal pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada 28–31˚C, pH optimal 3-4, memerlukan oksigen sehingga dalam fermentasi tidak ditutup dengan bahan kedap udara sehingga tidak memungkinkan udara masuk sama sekali, tutup untuk mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi.

Pemanfaatan Kapang Rhyzopus oryzae dalam pembuatan Tempe





087875885444
Jual Ragi Tempe Untuk Usaha UKM
Jual Bibit Rhyzopus oryzae, Rhyzopus oligosporus untuk riset



Tempe adalah merupakan salah satu produk olahan kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Produk tempe adalah makanan tradisional yang sejak dahulu menjadi warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Kini, produk tempe sangat populer hingga ke luar negeri. Tempe umumnya diolah menjadi masakan untuk sayur mayur, lauk-pauk, keripik, dan lain-lain. Rasa nya yang nikmat gurih dan bergizi tinggi sangat digemari banyak kalangan. Selain itu, tempe merupakan produk bergizi tinggi yang harganya terjangkau dibandingkan dengan harga daging yang jauh lebih mahal. Tempe seakan menjadi makanan yang merakyat namun juga berkelas karena rasanya nikmat dan gizinya tinggi. Di Indonesia, produsen tempe umumnya skala home industri dan hampir tersebar di semua daerah. Teknologi nya yang sederhana, dan investasi nya juga relatif rendah, sehingga industri tempe banyak digeluti oleh pengusaha bermodal pas-pasan. Namun, hasilnya cukup lumayan, karena pasarnya juga luas dan labanya juga menarik, sehingga industri tempe mampu eksis sepanjang jaman.
Hal yang menjadi kendala yang umumnya sering kali dikeluhkan oleh para produsen tempe adalah harga kedelai yang sering kali fluktuasi yang merupakan komponen biaya terbesar dalam produksi tempe. Harga kedelai yang fluktuasi karena terpengaruh oleh pasar kedelai internasional. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan bangsa kita terhadap kedelai impor, disebabkan oleh rendahnya produksi kedelai dalam negeri. Sangat disayangkan memang, bangsa kita yang memiliki lahan pertanian sangat luas, subur dan jumlah penduduk yang berlimpah, kenapa masih mengimpor kedelai dan bahan-bahan pertanian lainnya dari negara lain. Pada saat harga kedelai melambung tinggi, banyak produsen tempe yang berhenti beroperasi atau melakukan substitusi kedelai dengan bahan lain seperti jagung. Indonesia perlu mengembangkan kedelai baik kedelai hitam atau putih, karena kebutuhan komoditi kedelai oleh konsumen rumah tangga dan industri cukup tinggi.
Industri tempe sangat layak untuk dilestarikan, karena menjadi peluang usaha bagi usaha kecil menengah, memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Selain itu, pengembangan industri tempe juga merupakan upaya untuk memberikan pemenuhan gizi bagi masyarakat. Kesinambungan industri tempe sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku kedelai dan dukungan modal bagi UKM. Produk tempe dapat dikembangan menjadi produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi seperti keripik tempe yang sudah sangat populer. Keripik tempe memiliki daya simpan yang lama sehingga pasarnya lebih luas.
Untuk berwirausaha tempe tentu dibutuhkan keuletan dalam hal memasarkan dan teknik produksinya. Pemasaran tempe umumnya dijual di warung-warung makan, restoran, warung sayuran, supermarket, atau di pasar. Teknik produksi relatif mudah, dan membutuhkan alat yang sederhana seperti nyiru, ember, mesin pengupas, mesin kemasan, plastik, rak fermentasi. Bahan baku yang digunakan adalah kedelai murni atau ditambahkan dengan jagung, atau kacang-kacangan lainnya seperti koro, dan lain-lain. Untuk fermentasi tempe dapat menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus  stolonifer. Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Proses fermentasi berlangsung kurang lebih 2 hari yang ditandai tumbuhnya miselia kapang yang merekatkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang memadat. Degradasi komponen-komponen kedelai pada fermentasi membuat tempe memiliki rasa dan aroma khas. Untuk memproduksi tempe dibutuhkan alat dan bahan sebagai berikut:

a. Bahan Pembuatan Tempe:
1. Kedelai Putih 10 Kg
2. Bibit tempe/Ragi Tempe 10gr
3. Air bersih

b. Alat-alat Pembuatan Tempe:
1. Panci
2. Kompor
3. Tampah 2 buah
4. Ember Plastik
5. Plastik Pembungkus
6. Kertas dan daun pisang

c. Proses Pembuatan Tempe Kedelai :
1. Sortasi kedelai dari bahan-bahan yang tidak berguna seperti daun, batang, pasir dan lain-lain.
2.Rendam kedelai 5-8 jam, dan buang airnya.
3.Rebus kedelai hingga mendidih, buang airnya.
4. diremas-remas untuk menghilangkan kulitnya dan agar kedelai terbelah, namun tidak hancur., sambil dicuci dengan air yang mengalir untuk menghilangkan lendirnya. Proses ini dapat dilakuakan dengan menggunakan mesin atau secara manual.
5. Kedelai yang telah dicuci bersih tersebut, kemudian dikukus hingga tanak.
6. Tiriskan, setelah dingin lakukan inokulasi dengan ragi tempe (Rhyzopus oryzae), aduk hingga rata.
7. Pengemasan dengan menggunakan plastik, atau daun pisang. Jika menggunakan kemasan plastik, berikan ronggan udara dengan mencoblosi  permukaan kemasan plastik secara merata dengan menggunakan batang bambu ukuran o, 1 cm yang diruncingkan
8. Pemeraman dengan menggunakan rak selama kurang lebih 2 hari.
9. Pemanenan

Teknologi Fermentasi Pengolahan Pakan Alternatif Untuk Unggas



087875885444
Jual Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Aspergillus sojae


Ransum atau pakan merupakan salah satu komponen biaya yang terbesar dalam budidaya hewan unggas hingga 70%. Untuk menekan biaya pakan, kita dapat menggunakan pakan alternatif yang relatif murah, cukup bergizi, tersedia cukup banyak dan kontinu di sekitar lokasi kandang, sehingga dapat menyubstitusi pakan konsentrat. Bahan pakan lokal sebagai sumber pakan alternatif yang biasa digunakan antara lain; bahan nabati yaitu bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang umumnya mempunyai serat kasar tinggi seperti dedak atau daun-daunan yang disukai hewan unggas seperti daun pepaya, bungkil kelapa, bungkil kedele dan bahan pakan asal kacang-kacangan yang kaya kandungan proteinnya. Untuk meningkatkan kandungan gizi pakan alternatif tersebut dapat dilakukan fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus niger. Berikut ini adalah beberapa sumber pakan alternatif baik nabati maupun hewani yang dapat diformulasikan dengan bahan lainnya:

a. Sumber Pakan Nabati

1. Dedak halus
Dedak merupakan bahan yang diperoleh dari limbah penggilingan padi kemudian dihaluskan yang sudah umum digunakan sebagai bahan campuran makanan unggas. Dedak halus memiliki kandungan protein berkisar 10,1 % – 13,6 %, kandungan lemaknya mencapai 13%, dan serat kasarnya kurang lebih 12%. Penggunaan dedak halus dalam pakan ayam buras tidak dianjurkan melebihi 45%.

2. Jagung
Jagung merupakan produk pertanian yang telah banyak dimanfaatkan, sebagai produk pangan maupun pakan ternak. Di Indonesia produksi jagung terbilang tinggi dengan varietas yang bermacam-macam. Budidaya jagung banyak tersebar di berbagai kawasan dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Selatan sampai Maluku. Jagung merupakan sumber pakan ternak berprotein tinggi yang diformulasi dengan bahan-bahan lain menjadi pakan konvensional berupa pellet, yang telah banyak dipasarkan kepada peternak lokal maupun sebagai komoditas ekspor. Adanya pakan yang murah, mudah pengolahannya dan bermutu (gizi) tinggi merupakan peluang bagi para peternak ayam buras untuk melakukan efesiensi biaya pakan.

3. Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa dihasilkan dari limbah pembuatan minyak kelapa. Bungkil kelapa dapat digunakan sebagai salah satu penyusun ransum pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi mencapai 21,5 % dan energi metabolis 1540 - 1745 Kkal/Kg. Tetapi bungkil kelapa memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi mencapai 15%, sehingga mudah rusak terkontaminasi jamur dan tengik. Oleh karena itu penggunaan bungkil kelapa dianjurkan tidak melebihi 20% sebagai penyusun ransum. Bungkil kelapa memiliki warna coklat, coklat tua, dan coklat muda.

4. Singkong
Singkong adalah tanaman tropis yang banyak tersebar di seluruh Indonesia. Produksi singkong Indonesia adalah nomer tiga di dunia. Singkong telah banyak diolah menjadi produk pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Singkong memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternative ayam buras yang dipelihara secara intensif. Singkong dapat diberikan dalam bentuk mentah (segar) ataupun setelah melalui pengolahan misalnya gaplek atau tepung singkong.

5. Bungkil kedelai.
Bungkil kedelai dihasilkan dari limbah pembuatan minyak kedelai. Bungkil kedelai memiliki kandungan protein kurang lebih 42,7% dan kandungan energi metabolisme mencapai 2240 Kkal/Kg, kandungan serat kasarnya rendah kurang lebih 6%. Penggunaan bungkil kedelai dalam ransum ayam dianjurkan tidak melebihi 40%. Bungkil kedelai memiliki kandungan methionisne rendah, namun kekurangan methionisme dapat dipenuhi dengan menggunakan tepung ikan atau methionisme buatan pabrik. Kacang kedelai mentah tidak dianjurkan untuk dipergunakan sebagai pakan ayam karena kacang kedelai mentah mengandung beberapa trypsin, yang tidak tahan terhadap panas, karena itu sebaiknya kacang kedelai diolah lebih dahulu.

b. Bahan Pakan Hewani.

Bahan pakan hewani memiliki kandungan gizi yang tinggi terutama protein. Beberapa bahan sumber pakan asal hewani yang biasanya digunakan sebagai penyusun ransum antara lain adalah; bekicot, serangga, cacing, tepung ikan, tepung tulang, tepung udang dan tepung kerang. Saat ini, banyak dibudidayakan sebagai bahan pakan alternatif yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein pada ransum ayam.


1. Tepung Ikan.
Tepung ikan merupakan bahan pakan yang memiliki sumber protein tinggi. Tepung ikan umumnya berasal dari sisa-sisa pengolahan ikan yang tidak terpakai. Kandungan gizi tepung ikan berbeda-beda, sesuai dengan jenis ikannya. Tepung ikan yang berasal dari sisa industri ikan kalengan atau limbah tangkapan nelayan yang dijemur dengan panas matahari mempunyai kandungan protein kasar berkisar 50 -55%. Selain sebagai sumber protein dengan asam amino yang baik, tepung ikan juga merupakan sumber mineral dan vitamin. Harganya yang cukup mahal, maka penggunaan tepung ikan sebaiknya tidak lebih dari 10 %, hal ini dimaksudkan agar lebih efesien.

2. Tepung Udang

Tepung udang merupakan bahan pakan alternatif yang memiliki kandungan protein cukup tinggi yaitu berkisar 43 – 47%. Umumnya, tepung udang berasal dari limbah industri udang, dan kualitas gizinya tergantung dari bagian yang tergiling. Apabila bagian kepala dan kaki ikut tergiling tentu kualitasnya lebih baik daripada hanya kulit udangnya saja.

3. Tepung Tulang
Tepung tulang digunakan sebagai sumber mineral. Tepung tulang umumnya mengandung Calcium antara 24 - 25% dan Phospor antara 12-15%. Karena sifatnya sebagai pelengkap, pemakaian tepung tulang hanya sedikit.

4. Tepung Kerang

Tepung kerang merupakan sumber Calcium dengan kandungan Calcium-nya mencapai hampir 36%. Peternak dapat memanfaatkan tepung kerang ini sebagai alternative sumber Calcium untuk ransum, jika ketersediaannya melimpah dan murah.

5. Bekicot
Bekicot merupakan bahan pakan hewani yang mudah diperoleh di sekitar kita dan mudah membudidayakannya. Daging bekicot dapat diberikan sebagai pakan ayam, baik dalam bentuk basah segar, kering, atau dalam bentuk tepung. Bekicot memiliki kandungan protein dalam bentuk basah (segar) 54,30%, dalam bentuk kering 64,13 %, dalam bentuk tepung 24,80%. Untuk mengolah bekicot menjadi pakan ayam yaitu dengan merendam daging bekicot dalam larutan air dengan perbandingan 1 liter air 75 gr garam dapur selama 15 menit. Kemudian daging bekicot dicuci kemudian masukkan ke dalam air mendidih selama 20 menit sampai masak. Penggunaan daging bekicot sebagai pakan ayam dianjurkan tidak melebihi 10%. Selain dagingnya, cangkang bekicot juga dapat digunakan sebagai pengganti tepung kapur.

Membuat Susu Fermentasi Dengan Lactobacillus casei (Yakult)





087875885444
Jual Bibit Lactobacillus casei


Salah satu produk olahan susu yang banyak dikonsumsi adalah yakult. Yakult merupakan produk susu yang difermentasi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus casei yang sangat menguntungkan bagi kesehatan karena dapat melawan bakteri-bakteri yang merugikan dalam sistem pencernaan kita. Rasanya yang nikmat, selain baik bagi kesehatan minuman yakult juga sangat digemari oleh anak-anak hingga orang dewasa. Oleh karena itu, permintaan produk yakult cukup tinggi. Produk yakult dapat kita jumpai di warung-warung hingga supermarket. Kita pun dapat membuat produk yakult sendiri dan dapat dipasarkan.

Bahan
• Susu skim atau Susu UHT (1000 ml)
•Starter Lactobacillus casei
• Larutan gula pasir 100 ml

Alat
• Panci pemanas.
• Kompor.
• Termometer.
• Pengaduk.
• Botol kaca.

Proses Pembuatan Yakult
  1. Rebus susu skim atau susu UHT sebanyak 1 liter sampai mendidih selama 60 detik.
  2. Siapkan botol kaca, bersihkan dengan air dingin kemudian tutuplah ujung botol. Agar botol tersebut steril, maka rebuslah botol tersebut dalam air mendidih selama 60 detik.
  3. Angkatlah botol tersebut dari air panas, kemudian keringkan tanpa membuka tutup botol.
  4. Masukkan susu yang telah direbus, ke dalam botol. Biarkan hingga suhu botol dan susu tersebut kira-kira mencapai 45°C.
  5. Masukkan 200 ml yakult ke dalam 1000 ml susu.
  6. Tutup kembali botol tersebut, kemudian simpan dalam tempat tertutup dan hindari sinar matahari secara langsung.
  7. Setelah 24 jam, susu dalam botol telah berubah menjadi yakult.
  8. Tambahkan gula (kira-kira 1 sendok makan per 200 ml yakult). Yakult siap dikonsumsi.
  9. Yakult akan lebih nikmat jika dikonsumsi dalam keadaan dingin atau ditambah es batu

Pembuatan Yogurt Dengan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus







087875885444
Jual Bibit Yogurt

Yogurt adalah salah satu produk olahan susu yang difermentasi dengan menggunakan bakteri asam laktat. Produk yogurt sudah sangat populer di masyarakat. Produk ini mudah didapatkan di toko-toko atau supermarket. Cita rasanya nikmat dan berkhasiat untuk menjaga kesehatan menyebabkan produk yogurt  banyak disukai oleh banyak kalangan. Selain dibuat dari susu segar, yoghurt juga dapat dibuat dari susu skim (susu tanpa lemak) yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan tertentu, tergantung kepada kekentalan produk yang diinginkan. Selain dari susu hewani, belakangan ini yoghurt juga dapat dibuat dari campuran susu skim dengan susu nabati (susu kacang-kacangan). Sebagai contoh, yoghurt dapat dibuat dari kacang kedelai, yang sangat populer dengan sebutan “soyghurt”. Yoghurt juga dapat dibuat dari santan kelapa, yaitu yang disebut dengan “miyoghurt”.
Proses fermentasi untuk menghasilkan yogur dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu menambahkan enzim-enzim untuk proses fermentasinya atau menambahkan mikrobia yang dapat melakukan proses fermentasi susu, cara yang pertama sangat mahal karena enzim-enzim yang harus ditambahkan jumlahnya lebih dari satu dan harus diberikan dalam kondisi tingkat kemurnian tinggi. Oleh sebab itu cara penambahan mikrobia yang dipilih, karena mikrobia tersebut secara alami terdapat pada susu, kita hanya tinggal mengisolasinya menjadi biakan murni untuk selanjutnya diperbanyak dan ditambahkan pada susu yang difermentasi.
Mikrobia yang umum digunakan untuk membuat yogurt adalah dari genurslactobacillus yang berbentuk batang (Lactobacillus bulgaricus) atua genus streptococcus yang berbentuk bulat (Streptococcus thermophilus). Kedua bakteri yogurt ini merupakan bakteri penghasil asam laktat yang penting peranannya dalam pengaturan mikroflora usus. Saat bertumbuh di usus,Lactobacillus bulgaricus dan S. thermophilus mampu menciptakan keadaan asam yang menghambat bakteri lain. Bakteri penyebab penyakit yang umumnya tak tahan asam tak mampu bertahan di lingkungan bakteri yogurt. Sementara bakteri lain yang memang seharusnya melimpah dirangsang untuk bertumbuh. Sehingga mikroflora dalam usus didorong mendekati keadaan seimbang yang normal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa bakteri dalam yogurt dan susu fermentasi memberi ekstra manfaat bagi tubuh.
Bakteri yogurt membutuhkan kondisi pertumbuhan yang cocok terutama suhu yang tepat. Umumnya bakteri tumbuh baik pada keadaan hangat. Bakteri yogurt S. thermophilus dan L. bulgaricus paling cepat tumbuh di sekitar suhu 40– 44°C (bergantung pada galurnya). Jika suhu terlalu rendah bakteri akan berkembang biak lambat atau tidak sama sekali. Sementara jika suhu terlampau panas bakteri bisa rusak dan mati. Bahaya lain, yaitu merajalelanya mikroba lain yang kondisi optimumnya di suhu lebih tinggi atau rendah. Karena lebih cepat berkembang biak di suhu tersebut, jumlah mikroba penyusup tadi dapat menyusul bahkan menyisihkan bakteri yogurt semula.
Prinsip pembuatan yoghurt adalah fermentasi susu dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Kedua macam bakteri tersebut akan menguraikan laktosa (gula susu) menjadi asam laktat dan berbagai komponen aroma dan citarasa. Lactobacillus bulgaricus lebih berperan pada pembentukan aroma, sedangkan Streptococcus thermophilus lebih berperan pada pembentukan citarasa yoghurt. Yoghurt yang baik mempunyai total asam laktat sekitar 0,85-0,95%. Sedangkan derajat keasaman (pH) yang sebaiknya dicapai oleh yoghurt adalah sekitar 4,5.
Langkah-langkah dalam pembuatan yogurt dapat diterangkan dari yang paling mudah dan sederhana hingga yang menyerupai produk komersial. Cara yang paling sederhana untuk pembuatan yogurt, bahan yang diperlukan hanyalah susu dan bibit yogurt, serta peralatan dapur sederhana seperti panci dan sendok. Segala macam jenis susu dapat digunakan untuk pembuatan yogurt, mulai dari susu sapi dan kambing, kuda dan unta, susu nabati dari kedelai, kecipir, almond, kacang tanah, santan, dan sebagainya. Variasi susu yang digunakan dapat berupa susu segar, susu cair dalam botol/karton, susu krim, susu skim, atau susu bubuk yang telah dicampur kembali dengan air. Meski demikian, sebaiknya tidak menggunakan susu kental manis karena terlalu banyak mengandung gula. Juga perlu diperhatikan bahwa ada produk susu cair dan bubuk yang mengandung pengawet, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yogurt. Jenis susu seperti demikian tidak dapat dijadikan yogurt.
Secara prinsip cara pembuatan yogurt dari susu nabati seperti susu kedelai sama saja seperti pembuatan yogurt lain, yaitu dengan menambahkan sejumlah bibit yogurt pada susu. Hanya saja, karena yogurt kedelai yang sudah jadi lebih sukar diperoleh, untuk pembuatan pertama terpaksa digunakan bibit yogurt dari susu sapi. Yogurt kedelai sedikit lebih encer daripada yogurt susu sapi. Pembuatan yogurt memerlukan suhu fermentasi yang kurang lebih konstanKarena suhu ruangan tempat menyimpan yogurt lebih dingin (25°C) dibandingkan suhu fermentasi yang seharusnya (40–44°C), maka susu akan menjadi dingin. Suhu konstan dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti alat pembuat yogurt listrik, menggunakan bola lampu dan kotak kardus atau menggunakan baskom dan air hangat. Cara yang paling praktis adalah yang pertama, karena di dalam alat tersebut terdapat pengukur suhu dan pemanas otomatis untuk menjaga suhu.
Apabila tidak ada alat pembuat yogurt, dapat digunakan cara yang kedua yaitu menggunakan bola lampu dan kotak kardus. Tempat yang berisi susu hangat yang telah diberi bibit yogurt dimasukkan ke dalam kotak kardus. Kemudian digantung sebuah bola lampu 60 watt di dekat wadah untuk menghangatkan susu. Suhu di dalam kotak kardus harus selalu diperiksa dengan termometer. Suhu optimum harus berada sekitar 42–45°C, yaitu 1–2°C lebih tinggi dari suhu fermentasi. Jika terlalu panas atau dingin, letak bola lampu dapat diatur (atau diganti ukuran wattnya). Jika cara pertama dan kedua tidak memungkinkan, dapat digunakan air penghangat. Susu hangat yang telah diberi bibit diletakkan dalam panci logam. Panci dimasukkan ke baskom atau ember yang lebih besar. Kemudian air hangat (42–45°C) dituangkan di sekeliling panci hingga mencapai tepian. Sekitar setengah jam sekali, air yang telah dingin dihangatkan kembali dengan menambahkan sedikit air panas. Suhu air selalu diukur dan diatur agar berkisar 42–45°C kembali. Kegiatan ini selalu diulangi dengan jangka waktu setengah jam kemudian hingga yogurt jadi. Penggunaan bibit serbuk diperlukan untuk memulai (starter) jika tidak tersedia yogurt jadi. Selanjutnya untuk beberapa kali pembuatan, dapat mengambil bibit dari yogurt hasil sebelumnya. Saat kualitas yogurt mulai menurun barulah kembali menggunakan bibit serbuk. Yogurt menggumpal disebabkan selain butiran lemak dan air, susu juga terdiri dari bola-bola protein kecil yang disebut misel. Letaknya berjarakan satu dengan yang lain. Jika suasana susu tidak asam, bertabrakan pun misel-misel ini berpantulan dan memisah kembali. Tapi saat susu menjadi asam oleh asam laktat dari bakteri yogurt, misel seolah-olah lengket dan ketika bertabrakan terbentuklah jaring-jaring yang memerangkap air. Dalam pengamatan, susu nampak menggumpal.
Secara umum ada dua jenis yogurt yang bisa dibuat yaitu setengah padat dan cair. Yogurt setengah padat bentuknya seperti tahu dan tidakdiaduk. Untuk pembuatan yogurt setengah padat ini dibutuhkan susu yang kental, yang kandungan padatannya banyak, biasanya dengan menambahkan sejumlah susu skim padat ke dalam susu murni atau dengan membiarkan sebagian air dari susu menguap saat dipanaskan. Sedangkan yogurt cair, bentuknya encer dan dapat diminum karena kandungan padatan susunya lebih rendah. Yogurt cair ini dapat lebih encer dibandingkan susu murni. Tahap – tahap pembuatan yogurt adalah seperti berikut ini:
1)       Susu segar dipanaskan sampai suhu 90 °C dan selalu diaduk supaya proteinnya tidak mengalami koagulasi. Pada suhu tersebut dipertahankan selama 1 jam. Apabila dilakukan pasteurisasi maka suhu pemanasannya adalah 70 – 75 °C . Jika hal ini yang dilakukan, maka pemanasan dilakukan sebanyak dua kali.
2)       Setelah dipanaskan, selanjutnya dilakukan pendinginan sampai suhunya 37- 45 °C. Pendinginan tersebut dilakukan dalam wadah tertutup.
3)       Setelah suhu mencapai 37-45 °C maka dilakukan inokulasi / penambahan bakteri ke dalam susu tersebut sejumlah 50 – 60 ml/liter susu. Penambahan bakteri dilakukan dengan teknik aseptic (di dekat api).
4)       Setelah ditambah bakteri, selanjutnya diperam pada ruangan hangat (30-40 °C), dalam keadaan tertutup rapat selama 3 hari.
5)       Tahap selanjutnya adalah filtrasi. Hal ini dilakukan untuk memisahkan bagian yang padat / gel dengan bagian yang cair. Pada waktu pemisahan ini diusahakan dilakukan di dekat api sehingga bagian yang cair (sebagai stater berikutnya) terhindar dari kontaminasi.
6)       Supaya yogurt lebih lezat rasanya dapat ditambah dengan potongan buah – buahan yang segar, cocktail, nata de coco atau dibekukan menjadi es, dapat pula dicampur dengan berbagai buah-buahan untuk dibuat juice (minuman segar).

Pembuatan Natto-Makanan Khas Jepang Dengan Bacillus subtilis







087875885444
Jual Bibit Natto Bacillus subtilis

Nattō adalah makanan tradisional khas Jepang yang merupakan hasil fermentasi biji kedelai dengan memanfaatkan bakteri Bacillus subtilis. Selain rasanya yang gurih dan nikmat, nato memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kini natto juga menjadi menu masakan kuliner-kuliner di Indonesia khususnya restoran khas Jepang yang mulai menjamur di kota-kota besar seperti Bali, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan lain-lain. Makanan khas Jepang ini cukup banyak diminati banyak kalangan. Natto banyak dihidangkan untuk menemani menu masakan seperti sup miso, salad, okonomiyaki, dengan spaghetti, atau digoreng. Nattō yang dikeringkan dapat dimakan sebagai makanan ringan. Selain itu juga ada es krim nattō.
Untuk membuat natto sangatlah mudah, bahan yang digunakan adalah kedelai kuning. Pilihlah kedelai kuning yang berukuran besar dan seragam. Alat yang dibutuhkan juga relatif sederhana seperti soblok atau panci perebusan, oven sebagai ruang femerntasi suhu 45-50 oC, dan ruang pendingin, drum plastik atau ember untuk perendaman. Proses produksi relatif mudah yaitu; kedelai disortasi terlebih dahulu, kemudian dicuci dan direndam selama 12-20 jam sehingga terjadi hidrasi dan ukurannya membesar. Kemudian dikukus selama 6 jam. Setelah itu difermentasi dengan menggunakan bakteri Bacillus substilis pada suhu 40 derajad selama 24 jam. Selama proses fermentasi tersebut harus dijaga agar tidak terkontaminasi dengan mikrobia lain baik jamur, yeast atau bakteri lain. Kemudian setelah dingin, natto dimasukan ke dalam refrigerator selama kurang lebih 1 minggu.

Pembuatan Natto-Makanan Khas Jepang Dengan Bacillus subtilis







087875885444
Jual Bibit Natto Bacillus subtilis

Nattō adalah makanan tradisional khas Jepang yang merupakan hasil fermentasi biji kedelai dengan memanfaatkan bakteri Bacillus subtilis. Selain rasanya yang gurih dan nikmat, nato memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kini natto juga menjadi menu masakan kuliner-kuliner di Indonesia khususnya restoran khas Jepang yang mulai menjamur di kota-kota besar seperti Bali, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan lain-lain. Makanan khas Jepang ini cukup banyak diminati banyak kalangan. Natto banyak dihidangkan untuk menemani menu masakan seperti sup miso, salad, okonomiyaki, dengan spaghetti, atau digoreng. Nattō yang dikeringkan dapat dimakan sebagai makanan ringan. Selain itu juga ada es krim nattō.
Untuk membuat natto sangatlah mudah, bahan yang digunakan adalah kedelai kuning. Pilihlah kedelai kuning yang berukuran besar dan seragam. Alat yang dibutuhkan juga relatif sederhana seperti soblok atau panci perebusan, oven sebagai ruang femerntasi suhu 45-50 oC, dan ruang pendingin, drum plastik atau ember untuk perendaman. Proses produksi relatif mudah yaitu; kedelai disortasi terlebih dahulu, kemudian dicuci dan direndam selama 12-20 jam sehingga terjadi hidrasi dan ukurannya membesar. Kemudian dikukus selama 6 jam. Setelah itu difermentasi dengan menggunakan bakteri Bacillus substilis pada suhu 40 derajad selama 24 jam. Selama proses fermentasi tersebut harus dijaga agar tidak terkontaminasi dengan mikrobia lain baik jamur, yeast atau bakteri lain. Kemudian setelah dingin, natto dimasukan ke dalam refrigerator selama kurang lebih 1 minggu.

Membuat Gula Cair Dari Singkong






087875885444
Jual Enzim Alfa Amylase dan Gluco Amylase


Gula merupakan sumber pemanis yang sangat dibutuhkan khususnya industri makanan dan konsumen rumah tangga. Dalam produk pangan, gula berfungsi sebagai pemberi cita rasa sekaligus sebagai pengawet alami. Kebutuhan gula sangat besar, dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan gula sebagian besar berasal dari gula tebu atau gula pasir yang komponen utamanya adalah sukrosa. Produksi gula pasir di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya produksi, dan semakin rendahnya minat petani untuk bertanam tebu. Hal ini diperparah dengan semakin derasnya gula impor dari negara lain yang membuat industri gula tebu semakin terpuruk. Mengingat kebutuhan gula yang terus meningkat maka perlu dikembangkan jenis gula dari bahan lain yang ketersediaannya melimpah. Saat ini telah dikembangkan  beberapa jenis produk gula cair dari bahan singkong, jagung, ubi jalar, sagu, dan lain-lain yang merupakan sumber pati yang dapat dipecah menjadi glukosa. 
Tahapan Proses Membuat Gula Cair Bahan Baku Singkong
1.      Larutkan tepung tapioka dalam air dengan perbandingan 1 : 3.
2.      Panaskan pada suhu 95-105oC dan tambahkan 0,8 ml enzim alfa-amilase per kg pati sembari diaduk rata.
3.      Setelah mendidih, turunkan suhu larutan hingga bersuhu 60oC. Kemudian tambahkan 1 ml enzim amiloglukosidase per kg pati. Diamkan larutan selama 76 jam hingga menjadi cairan gula.
4.      Tambahkan 1% arang aktif per kg pati ke dalam gula cair untuk mengikat, menggumpalkan, dan mengendapkan pati, serta menghentikan aktivitas enzim.
5.      Lakukan penyaringan larutan untuk memisahkan gula cair dari karbon aktif dan kotoran sehingga tingkat kejernihan gula 93%. Bila belum tercapai, ulangi kembali pemucatan dan penyaringan.
6.      Alirkan gula cair melalui tabung berisi penukar ion untuk mengikat dan memisahkan ion-ion logam dan kotoran dalam gula cair.
7.      Evaporasi gula ke dalam evaporator untuk meningkatkan kadar gula. Proses evaporasi berlangsung pada suhu 50-60 oC.

Pembuatan Nata De Soja Dengan Acetobaceter xylinum





087875885444
Jual Bakteri Acetobacter xylinum

Nata de soya adalah nata berbahan baku limbah cair industri olhan kedelai seperti tahu dan tempe. Pada industri tempe, yang digunakan untuk pembuatan nata de soya adalah limbah cair dari perebesan kedelai, sedangkan pada industri tahu adalah limbah cair dari proses pengendapan. Limbah cair yang masih mengandung banyak nutrisi akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Nata de soya memiliki karakteristik kenampakan warna agak kecoklatan, memiliki cita rasa aroma khas kedelai saat setelah dipanen. Warna coklat dan aroma khas kedelai bisa dihilangkan dengan perebusan dan pencucian beberapa kali dengan menggunakan air bersih. Berikut ini adalah proses produksi pembuatan nata de soya dengan menggunakan bahan baku limbah industri tempe:
a). Bahan yang diperlukan
1.      50 liter limbah cair industry tahu atau tempe yang sudah asam (dibiarkan 3 hari)
2.      150 gram ZA  (ammonium sulfat food grade)
3.       200 gram gula pasir
4.      Asam asetat atau cuka 250 ml (jika diperlukan untuk menurunkan pH 3-4) 
5.      Bibit nata (Acetobacter xylinum)
b). Proses Pembuatan:
1.      Penyiapan nampan
Siapkan nampan sejumlah yang dibutuhkan, jika kita menuang media larutan per nampan 1,2 liter, maka dibutuhkan 42 nampan untuk satu kali perebusan per 50 liter larutan. Nampan yang akan digunakan ditutup koran dan diikat dengan menggunakan karet ban.

2.      Penyaringan media
Limbah cair industri tempe atau tahu yang akan digunakan sebagai media pembuatan  nata disaring dengan kain kasa, agar kotoran-kotoran dan partikel kasar dapat dipisahkan.

3.      Perebusan
Perebusan dilakukan dengan menggunakan panci kapasitas 60 liter dengan menggunakan kayu bakar atau batu bara. Penambahan gula pasir dan asam cuka ke dalam media larutan, sambil dilakukan pengadukan. Jika larutan telah mendidih kemudian ditambahkan ZA.
4.      Inkubasi / Fermentasi
Larutan yang mendidih kemudian dituang pada nampan-nampan yang telah ditutup dengan menggunakan koran yang telah diikat dengan menggunakan karet ban. Kemudian disusun dalam rak-rak.  Setelah kurang lebih 8 jam sehingga larutan dalam  nampan menjadi dingin kemudian dilakukan inokulasi dengan menambahkan starter/bibit nata Acetobacter xylinum 10%.
5.      Pemanenan.
Setelah  pemeraman selama 7-10 hari, dilakukan pemanenan. Nata dengan kualitas baik dan nata terkontaminasi jamur dipisahkan. Nata terkena jamur dilakukan pengguntingan dan dibuang bagian yang terkena jamur.
6.      Pencucian
Nata hasil panen kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih. Kemudian setelah dicuci bersih dapat disimpan dalam drum plastik dalam bentuk lembaran-lembaran atau dipotong-potong dengan menggunakan mesin pemotong atau secara manual dengan menggunakan pisau.
7.      Penyimpanan
Nata yang telah menjadi potongan kemudian disimpan dalam drum plastik dengan penambahan air sampai permukaan nata tertutup air. Perawatan dilakukan dengan cara penggantian air tiap 3 hari sekali.

Pembuatan Nata De Soja Dengan Acetobaceter xylinum





087875885444
Jual Bakteri Acetobacter xylinum

Nata de soya adalah nata berbahan baku limbah cair industri olhan kedelai seperti tahu dan tempe. Pada industri tempe, yang digunakan untuk pembuatan nata de soya adalah limbah cair dari perebesan kedelai, sedangkan pada industri tahu adalah limbah cair dari proses pengendapan. Limbah cair yang masih mengandung banyak nutrisi akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Nata de soya memiliki karakteristik kenampakan warna agak kecoklatan, memiliki cita rasa aroma khas kedelai saat setelah dipanen. Warna coklat dan aroma khas kedelai bisa dihilangkan dengan perebusan dan pencucian beberapa kali dengan menggunakan air bersih. Berikut ini adalah proses produksi pembuatan nata de soya dengan menggunakan bahan baku limbah industri tempe:
a). Bahan yang diperlukan
1.      50 liter limbah cair industry tahu atau tempe yang sudah asam (dibiarkan 3 hari)
2.      150 gram ZA  (ammonium sulfat food grade)
3.       200 gram gula pasir
4.      Asam asetat atau cuka 250 ml (jika diperlukan untuk menurunkan pH 3-4) 
5.      Bibit nata (Acetobacter xylinum)
b). Proses Pembuatan:
1.      Penyiapan nampan
Siapkan nampan sejumlah yang dibutuhkan, jika kita menuang media larutan per nampan 1,2 liter, maka dibutuhkan 42 nampan untuk satu kali perebusan per 50 liter larutan. Nampan yang akan digunakan ditutup koran dan diikat dengan menggunakan karet ban.

2.      Penyaringan media
Limbah cair industri tempe atau tahu yang akan digunakan sebagai media pembuatan  nata disaring dengan kain kasa, agar kotoran-kotoran dan partikel kasar dapat dipisahkan.

3.      Perebusan
Perebusan dilakukan dengan menggunakan panci kapasitas 60 liter dengan menggunakan kayu bakar atau batu bara. Penambahan gula pasir dan asam cuka ke dalam media larutan, sambil dilakukan pengadukan. Jika larutan telah mendidih kemudian ditambahkan ZA.
4.      Inkubasi / Fermentasi
Larutan yang mendidih kemudian dituang pada nampan-nampan yang telah ditutup dengan menggunakan koran yang telah diikat dengan menggunakan karet ban. Kemudian disusun dalam rak-rak.  Setelah kurang lebih 8 jam sehingga larutan dalam  nampan menjadi dingin kemudian dilakukan inokulasi dengan menambahkan starter/bibit nata Acetobacter xylinum 10%.
5.      Pemanenan.
Setelah  pemeraman selama 7-10 hari, dilakukan pemanenan. Nata dengan kualitas baik dan nata terkontaminasi jamur dipisahkan. Nata terkena jamur dilakukan pengguntingan dan dibuang bagian yang terkena jamur.
6.      Pencucian
Nata hasil panen kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih. Kemudian setelah dicuci bersih dapat disimpan dalam drum plastik dalam bentuk lembaran-lembaran atau dipotong-potong dengan menggunakan mesin pemotong atau secara manual dengan menggunakan pisau.
7.      Penyimpanan
Nata yang telah menjadi potongan kemudian disimpan dalam drum plastik dengan penambahan air sampai permukaan nata tertutup air. Perawatan dilakukan dengan cara penggantian air tiap 3 hari sekali.

Pemanfaatan Bakteri Bacillus licheniformis, Bacillus coagulans, Bacillus cereus, Bacillus sp.






087875885444
Jual Culture Bakteri Bacillus sp.


Bacillus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik fakultatif, dan memiliki endospora sebagai struktur bertahan saat kondisi lingkungan tidak mendukung. Bentuk spora (endospora) Bacillus bervariasi bergantung pada spesiesnya. Endospora ada yang lebih kecil dan ada juga yang lebih besar dari pada diameter sel induknya. Pada umumnya sporulasi terjadi bila keadaan medium memburuk, zat-zat yang timbul sebagai pertukaran zat yang terakumulasi dan faktor luar lainnya yang merugikan. Bacillus mempunyai sifat yang lebih menguntungkan daripada mikroorganisme lain karena dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya. Spesies  jenis Bacillus juga berbeda dalam sifat pertumbuhannya. Beberapa bersifat mesofilik misalnya Bacillus subtilis yang lainnya bersifat termofilik fakultatif misalnya Bacillus coagulans atau termofilik pada Bacillus stearothermophilus sering menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng. Sebanyak 22 spesies Bacillus telah diidentifikasi diantaranya banyak ditemukan pada makanan.
Beberapa kelompok bakteri Bacillus menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen (Backman et al.,1994). Bacillus telah banyak diaplikasikan pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker & Cook, 1974). Bacillus sp. - Berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman - Biokontrol fungi patogen akar Widyawati (2008). 2. Bacillus subtilis - Sebagai agen pengendali hayati - Sebagai PGR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Sulistiani (2009). 3. Bacillus subtilis - Memiliki pengaruh biofungisida terhadap serangan penyakit antraknosa pada cabai merah (Capsicum annuum L.) Kusnadi et al. (2009). 3. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media tapioka Salamah (2002). 4. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media air kelapa Priatno (1999). 5. Bacillus spp. - Pengahasil α- amilase ekstraseluler Widyasti (2003). 6. Bacillus thermoglucosidasius AF-01 - Memproduksi parsial protease alkali Fuad et al. (2004). 7. Bacillus licheniformis - Sebagai feed suplement terhadap pertumbuhan ikan nila merah Haetami et al. (2008). 8. Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat jamur patogen Aspergillus sp. yang menginfeksi ikan nila (Oreochromis sp.) Malau (2012). 9 Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat layu Fussarium pada benih cabe merah (Capsicum annuum L.) Indarwan (2011). 10 Bacillus thuringinensis var aizawa IH-A - Penggunaan Bacillus thuringinensis sebagai bioinsektisida Sjamsuriputra et al. (2002).
 Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif maupun dorman oleh satu atau lebih organisme baik secara aktif maupun dengan manipulasi lingkungan dan inang, dengan menggunakan agens antagonis atau dengan mengintroduksi satu atau lebih organisme antagonis (Baker & Cook, 1974). Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat berlangsung dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak berbahaya bagi kehidupan. Agens antagonis adalah mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit. Bahkan, agens antagonis dapat berasal dari strain patogen avirulen yang dapat menghambat perkembangan patogen (Agrios, 1997).
Genus Bacillus digunakan sebagai agen biokontrol secara luas, menghasilkan zat antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida. Bakteriosin membunuh sel targetnya dengan menyisip pada membran target dan mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan sel lisis (Compant et al., 2005). Bacillus sp juga diketahui menghasilkan spora dan enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen yaitu Aspergillus sp. 2 pada ikan nila (Oreachromis niloticus) secara in vivo maupun in vitro (Malau, 2012). Bacillus juga menghasilkan enzim yang banyak digunakan dalam industri diantaranya Widyasti (2003) melaporkan Bacillus spp. penghasil enzim α-amilase yang banyak digunakan dalam industri untuk menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik pati, glikogen dan substrat sejenisnya. Fuad et al. (2004) melaporkan Bacillus thermoglucosidasius AF-01 memproduksi parsial portease alkali yang memiliki sifat proteolitik yang cukup tinggi banyak digunakan pada industri detergen dan makananan.
Ketahanan Spora Bacillus di Lingkungan Menurut Gaman & Sherrington (1981), spora merupakan “ body “ yang kuat dan keras terbentuk pada beberapa jenis bakteri. Waluyo (2007) ada dua tipe spora yang terbentuk, pertama terbentuk di dalam sel disebut dengan endospora dan di luar sel disebut dengan eksospora. Irianto (2006) resistensi endospora terhadap panas disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya dan pembungkus spora yang tebal. Waluyo (2007) endospora masih dapat bertahan pada suhu air mendidih selama 20 jam. Naufalin (1999) mekanisme ketahanan spora terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalent. Salamah (2002) melaporkan pembentukan spora Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. (Lay, 1994) mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat berhenti. Waluyo (2007) bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan (Jones & Burges, 1998).
 Bahan Pembawa Bahan pembawa merupakan bahan yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones & Burges, 1998).
Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia (Young et al., 1995). Vladamir et al. (2002) enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al. (2008) melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata. Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan enkapsulasi susu skim 73,5%, susu skim-gum arab 72,5% dan gum arab 71, 5%.
Menurut Master (1997) enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. (2002) penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masingmasing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu: Talek adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2) dan umumnya sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium, seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar panas tinggi (Dixon, 1989). Sulistiani (2009) melaporkan pengaruh interaksi jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi talek dengan waktu aplikasi Universitas Sumatera Utara9 pada minggu ke-6 (9,76 cm). Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap viabilitas spora.
Tapioka Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno, 1984). Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori (362 kal), karbohidrat (86,9 g), protein (0,5 g), lemak (0,3 g), kalsium (20 mg), fosfor (7 mg), besi (1,6 mg), kalium (11 mg), natrium (1 mg), magnesium (1 mg) dan air (12 g) (Djali & Riswanto, 2001). Wijayanti (2010) melaporkan tepung tapioka berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi.
Viabilitas Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka) sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan. 2.4.4 Kitosan Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer (misalnya, asam asetat 1% [v/v]). Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy et al.,2002) melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1 dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi >86% lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67% yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul. 2.4.3 Tepung Jagung Jagung mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10%, lipid 4,4 % dan kandungan pati sekitar 72%. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori (355 kal); karbohidrat (73,7 g); protein (9,2 g); lemak (3,9 g); kalsium (7 mg); fosfor (256 mg); besi (2,4 mg); kalium (287 mg); natrium (35 mg); magnesium (127 mg); vitamin A (510 SI); vitamin B1 (0,38 mg) dan air (12 g) (Mudjisihono & Munarsono, 1993).
Sulistiani (2009) melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfu/g dalam mendukung ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi 7,77 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas spora B. subtilis selama penyimpanan.


Sumber : http://repository.usu.ac.id/Bacillus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik fakultatif, dan memiliki endospora sebagai struktur bertahan saat kondisi lingkungan tidak mendukung. Bentuk spora (endospora) Bacillus bervariasi bergantung pada spesiesnya. Endospora ada yang lebih kecil dan ada juga yang lebih besar dari pada diameter sel induknya. Pada umumnya sporulasi terjadi bila keadaan medium memburuk, zat-zat yang timbul sebagai pertukaran zat yang terakumulasi dan faktor luar lainnya yang merugikan. Bacillus mempunyai sifat yang lebih menguntungkan daripada mikroorganisme lain karena dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya. Spesies  jenis Bacillus juga berbeda dalam sifat pertumbuhannya. Beberapa bersifat mesofilik misalnya Bacillus subtilis yang lainnya bersifat termofilik fakultatif misalnya Bacillus coagulans atau termofilik pada Bacillus stearothermophilus sering menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng. Sebanyak 22 spesies Bacillus telah diidentifikasi diantaranya banyak ditemukan pada makanan.
Beberapa kelompok bakteri Bacillus menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen (Backman et al.,1994). Bacillus telah banyak diaplikasikan pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker & Cook, 1974). Bacillus sp. - Berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman - Biokontrol fungi patogen akar Widyawati (2008). 2. Bacillus subtilis - Sebagai agen pengendali hayati - Sebagai PGR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Sulistiani (2009). 3. Bacillus subtilis - Memiliki pengaruh biofungisida terhadap serangan penyakit antraknosa pada cabai merah (Capsicum annuum L.) Kusnadi et al. (2009). 3. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media tapioka Salamah (2002). 4. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media air kelapa Priatno (1999). 5. Bacillus spp. - Pengahasil α- amilase ekstraseluler Widyasti (2003). 6. Bacillus thermoglucosidasius AF-01 - Memproduksi parsial protease alkali Fuad et al. (2004). 7. Bacillus licheniformis - Sebagai feed suplement terhadap pertumbuhan ikan nila merah Haetami et al. (2008). 8. Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat jamur patogen Aspergillus sp. yang menginfeksi ikan nila (Oreochromis sp.) Malau (2012). 9 Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat layu Fussarium pada benih cabe merah (Capsicum annuum L.) Indarwan (2011). 10 Bacillus thuringinensis var aizawa IH-A - Penggunaan Bacillus thuringinensis sebagai bioinsektisida Sjamsuriputra et al. (2002).
 Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif maupun dorman oleh satu atau lebih organisme baik secara aktif maupun dengan manipulasi lingkungan dan inang, dengan menggunakan agens antagonis atau dengan mengintroduksi satu atau lebih organisme antagonis (Baker & Cook, 1974). Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat berlangsung dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak berbahaya bagi kehidupan. Agens antagonis adalah mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit. Bahkan, agens antagonis dapat berasal dari strain patogen avirulen yang dapat menghambat perkembangan patogen (Agrios, 1997).
Genus Bacillus digunakan sebagai agen biokontrol secara luas, menghasilkan zat antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida. Bakteriosin membunuh sel targetnya dengan menyisip pada membran target dan mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan sel lisis (Compant et al., 2005). Bacillus sp juga diketahui menghasilkan spora dan enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen yaitu Aspergillus sp. 2 pada ikan nila (Oreachromis niloticus) secara in vivo maupun in vitro (Malau, 2012). Bacillus juga menghasilkan enzim yang banyak digunakan dalam industri diantaranya Widyasti (2003) melaporkan Bacillus spp. penghasil enzim α-amilase yang banyak digunakan dalam industri untuk menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik pati, glikogen dan substrat sejenisnya. Fuad et al. (2004) melaporkan Bacillus thermoglucosidasius AF-01 memproduksi parsial portease alkali yang memiliki sifat proteolitik yang cukup tinggi banyak digunakan pada industri detergen dan makananan.
Ketahanan Spora Bacillus di Lingkungan Menurut Gaman & Sherrington (1981), spora merupakan “ body “ yang kuat dan keras terbentuk pada beberapa jenis bakteri. Waluyo (2007) ada dua tipe spora yang terbentuk, pertama terbentuk di dalam sel disebut dengan endospora dan di luar sel disebut dengan eksospora. Irianto (2006) resistensi endospora terhadap panas disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya dan pembungkus spora yang tebal. Waluyo (2007) endospora masih dapat bertahan pada suhu air mendidih selama 20 jam. Naufalin (1999) mekanisme ketahanan spora terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalent. Salamah (2002) melaporkan pembentukan spora Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. (Lay, 1994) mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat berhenti. Waluyo (2007) bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan (Jones & Burges, 1998).
 Bahan Pembawa Bahan pembawa merupakan bahan yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones & Burges, 1998).
Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia (Young et al., 1995). Vladamir et al. (2002) enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al. (2008) melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata. Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan enkapsulasi susu skim 73,5%, susu skim-gum arab 72,5% dan gum arab 71, 5%.
Menurut Master (1997) enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. (2002) penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masingmasing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu: Talek adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2) dan umumnya sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium, seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar panas tinggi (Dixon, 1989). Sulistiani (2009) melaporkan pengaruh interaksi jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi talek dengan waktu aplikasi Universitas Sumatera Utara9 pada minggu ke-6 (9,76 cm). Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap viabilitas spora.
Tapioka Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno, 1984). Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori (362 kal), karbohidrat (86,9 g), protein (0,5 g), lemak (0,3 g), kalsium (20 mg), fosfor (7 mg), besi (1,6 mg), kalium (11 mg), natrium (1 mg), magnesium (1 mg) dan air (12 g) (Djali & Riswanto, 2001). Wijayanti (2010) melaporkan tepung tapioka berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi.
Viabilitas Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka) sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan. 2.4.4 Kitosan Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer (misalnya, asam asetat 1% [v/v]). Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy et al.,2002) melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1 dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi >86% lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67% yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul. 2.4.3 Tepung Jagung Jagung mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10%, lipid 4,4 % dan kandungan pati sekitar 72%. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori (355 kal); karbohidrat (73,7 g); protein (9,2 g); lemak (3,9 g); kalsium (7 mg); fosfor (256 mg); besi (2,4 mg); kalium (287 mg); natrium (35 mg); magnesium (127 mg); vitamin A (510 SI); vitamin B1 (0,38 mg) dan air (12 g) (Mudjisihono & Munarsono, 1993).
Sulistiani (2009) melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfu/g dalam mendukung ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi 7,77 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas spora B. subtilis selama penyimpanan.