Thursday, October 27, 2016

JUAL ANEKA JENIS PROBIOTIK UNTUK MENINGKATKAN SEKTOR PERIKANAN



087875885444
Perikanan adalah sektor ekonomi yang memberikan kontribusi besar dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Sebagai Negara yang sedang berkembang, kebutuhan akan produk pangan bernilai gizi tinggi selalu meningkat. Oleh karena itu, sektor perikanan harus mendapat perhatian serius. Permintaan produk olahan ikan baik domestik maupun luar negeri meningkat dari tahun ke tahun. Sektor perikanan dapat dikembangkan di kolam atau tambak-tambak dengan menggunakan media air tawar atau air laut. Dan, kita memiliki aset kelautan yang begitu luas yang mendukung sektor perikanan.
  Untuk meningkatkan produktifitas sektor perikanan, perlu dilakukan budidaya secara intensif yaitu dengan pemberian pakan yang berkualitas dan jumlah yang cukup, pencegahan dan penanganan penyakit pada ikan, serta manajamen kolam secara baik. Budidaya ikan secara intensif ditandai oleh tingkat kepadatan ikan yang tinggi dan ketergantungan penuh terhadap pakan buatan pabrik. Hal ini sangat mendukung percepatan penurunan  kualitas air. Padat tebar ikan per volume ruang yang tinggi menyebabkan meningkatkan persaingan kebutuhan oksigen dan buangan hasil pencernaan pakan. Dan, kualitas pakan rendah, kandungan protein yang rendah memperlambat proses pertumbuhan, memperburuk konversi pakan sehingga meningkatkan sedimen dasar kolam oleh sisa pakan.
Dalam usaha budidaya ikan, maka hal yang sangat menentukan keberhasilan adalah perawatan ikan dan pencegahan, serta penanganan penyakit. Wabah penyakit dapat mengakitbatkan usaha budidaya ikan menjadi gagal, dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu pentingnya mengendalikan penyakit pada ikan secara efektif dan efesien. Kita perlu mengenal jenis-jenis penyakit pada ikan, dan bagaimana penanggulangannya.
Salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri aeromonas hydrophila mampu menyerang ikan dan menyebabkan kematian ikan secara massal dalam waktu singkat. Aeromonas merupakan bakteri gram negatip yang  oportunis yang dapat menginfeksi ikan dengan cepat apabila ikan dalam kondisi stres atau dipelihara dalam kepadatan tinggi. Umumnya, tindakan pengobatan dilakukan melalui pemberian bahan kimia dan antibiotika. Pemberian antibiotika seringkali menimbulkan resistensi dan pemberian bahan kimia berpotensi meracuni ikan. Vaksinasi merupakan tindakan yang banyak dilakukan untuk pencegahan infeksi aeromonas. Terhadap benih ikan dilakukan perendaman dalam larutan vaksin hidrovet (biakan murni bakteri aeromoas hydrophila).   
Penyakit koi herpes virus (KHV) merupakan penyakit yang sangat cepat menyebar. Penyakit ini disebabkan oleh virus herpes yang diklasifikasikan sebagai virus DNA dan termasuk dalam famili herpesviridae. Pada populasi ikan yang peka tingkat mortalitas akibat serangan KHV dapat mencapai 80 – 100 %. Gejala klinis pada ikan biasanya terlihat pada kisaran suhu air 22 - 27 C. Sejauh ini belum ada pengobatan yang ampuh untuk mengendalikan penyakit KHV.
Pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri biasanya ditanggulangi melalui pemberian antibiotika dengan dosis pengobatan. Tetapi langkah pengobatan yang di antaranya dengan pemberian quinolone, ataupun tetrtacycline acapkali tidak efektif jika diberikan langsung di kolam karena salah satunya takaran dosis yang tidak tepat. Pemberian lewat pakan langsung dari pabrik mungkin lebih efektif tetapi penggunaan seperti itu biasanya tidak dibenarkan dan skala pabrik adalah skala massal. Penggunaan antibiotika dalam pakan dengan dosis preventif yang dilakukan dalam jangka panjang menimbulkan resistensi dan belum lagi memperhitungkan dampak residu dalam daging. Oleh karena itu langkah tepat dalam upaya meminimalkan potensi serangan penyakit adalah dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik khususnya memelihara kualitas air dan lingkungan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ikan secara optimal.
Aplikasi pemberian antibiotik dalam budidaya perikanan untuk mengendalikan infeksi mikro organisme pathogen telah meningkatkan potensi penggunaan probiotik perlu dipertimbangkan secara hati-hati. Selain menggunakan antibiotic untuk mengatasi penyakit pada ikan, kita dapat pula menggunakan probiotik untuk mencegah berkembangnya penyakit pada ikan. Probiotik merupakan mikroorganisme yang mempunyai sifat menguntungkan bagi hewan inang, sehingga berperan menekan pertumbuhan populasi mikroorganisme pathogen (bakteri yang merugikan).
Bakteri probiotik yang umumnya digunakan adalah bakteri gram positif diantaranya adalah genus Lactobacillus. Bakteri lactobacillus sp. merupakan jenis bakteri yang menghasilkan asam laktat. Probiotik banyak digunakan dalam budidaya perikanan untuk tujuan memelihara dan memperbaiki kesehatan air yang secara tidak langsung akan meningkatkan kesehatan ikan peliharaan. Mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik tidak hanya berasal dari golongan bakteri (Bacillus,Thiobacillus) tetapi juga berasal dari golongan yeast (Sacharomices cerevicae) dan mikro-alga (Tetraselmis sp). Terkadang probiotik yang diindikasikan mengandung beberapa bakteri spesies Clostridium, Pseudomonas dan Enterococcus sebenarnya bersifat pathogen terhadap manusia dan hewan.
Probiotik mampu mengubah keseimbangan mikro flora yang ada dalam saluran pencernaan. Probiotik bisa terdiri atas satu atau campuran (mix) beberapa kultur mikro organisme hidup. Probiotik merupakan makanan tambahan bagi hewan inang berupa sel mikro organisma (mikroba) atau sebagai pakan mikroskopik yang bertujuan memenangkan kompetisi dalam sistem saluran pencernaan ikan (hewan inang) dengan bakteri merugikan (pathogen). Kompetisi tersebut berlangsung dalam hal pemanfaatan nutrisi yang berasal dari hasil metabolisme pakan dan upaya penempatan ruang dalam saluran pencernaan untuk membentuk koloni.
Kualitas air sangat menentukan performansi ikan yang biasanya diukur dengan mengamati beberapa parameter utama seperti faktor fisika (pH, O2 terlarut, suhu, Fe, Hg, dll) dan faktor kimia (NH3, NO2, CaCO3 dll). Kualitas air yang buruk (tidak mendukung kesehatan ikan) banyak disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya meningkatnya timbunan bahan organik di dasar kolam yang berasal dari ekskreta ikan, sisa pakan pabrik, pupuk organik maupun bangkai ikan dan sampah budidaya lainnya. Hal ini juga dapat diperparah oleh sistem budidaya perikanan yang tingkat kepadatan yang tinggi yang memicu peningkatan stres ikan. Manajemen pengelolaan air yang baik sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan ekosistem yang mendukung usaha budidaya ikan. Pemberian probiotik mampu memperbaiki kondisi kualitas air dengan bertindak sebagai agen pengurai yang ditebarkan secara langsung ke air. Pengendalian penyakit pada budidaya ikan dengan menggunakan probiotik sangat efektif, aman dan murah.
Probiotik akan bekerja secara eksternal yaitu menguraikan senyawa toksik yang terdapat dalam air kolam seperti NH3, NO3, NO2, juga menguraikan bahan organik, dan menekan populasi alga biru hijau. Beberapa jenis mikroba sebagai probiotik pengurai antara lain nitrosomonas, cellumonas, bacillus subtilus, dan nitrobacter. Bakteri gram positip Bacillus sp. banyak digunakan sebagai probiotik untuk memperbaiki kualitas air dibandingkan dengan jenis bakteri gram negatip. Bacillus sp. lebih efisien dalam mengkonversikan kembali bahan organik menjadi CO2. Sedangkan bakteri gram negative mengkonversi karbon organik menjadi biomas bakteri dalam persentase lebih banyak. Sehingga dengan mengupayakan populasi bakteri Bacillus sp. tetap dalam jumlah besar di dalam perairan kolam akan meminimalkan pembentukan partikulat terlarut karbon organik selama siklus budidaya. Sekaligus juga akan memacu perkembangan phytoplankton dengan meningkatnya produksi CO2.   
Populasi dan jenis mikroorganisme (mikro flora) yang terdapat di dalam sedimen atau dalam air pemeliharaan ikan sangat dipengaruhi oleh jenis mikroba yang terdapat dalam feses yang dihasilkan banyak spesies hewan di lingkungan tersebut. Jika terdapat populasi bakteri pathogen dalam lingkungan, maka populasinya dalam tubuh ikan akan meningkat dengan cepat melalui interaksi dalam saluran pencernaan dan dalam feses. Bakteri tersebut akan terserap ke dalam pakan yang diberikan sebelum dikonsumsi ikan. Sedangkan, probiotik yang ditambahkan ke dalam air juga akan diserap oleh pakan dan ikut masuk ke dalam sistem pencernaan untuk berkompetisi dengan bakteri pathogen.
Adanya suplai nutrisi yang berlebihan di dalam air khususnya fosfor dan nitrogen menyebabkan meningkatnya populasi ganggang (alga) atau (phytoplankton). Unsur nutrisi tersebut dapat berasal dari sisa pemupukan di lahan pertanian yang terbawa arus air, pemupukan dasar kolam dengan menggunakan pupuk kandang secara berlebihan, atau sisa kelebihan pakan yang tidak termakan oleh ikan. Ganggang menyebabkan perubahan warna permukaan air, kebanyakan berwarna hijau atau warna merah, dan kuning kecoklatan. Populasi ganggang yang tinggi apabila mati akan didekomposisi oleh bakteri pengurai yang menggunakan lebih banyak oksigen terlarut dalam air. Menurunnya kadar oksigen dalam air menyebabkan bakteri vibrio yang bersifat pathogen menjadi lebih aktif dikarenakan kondisi yang anaerob yang dapat membahayakan kesehatan ikan. Rendahnya oksigen terlarut dalam air menimbulkan kendala yang besar bagi kelangsungan kehidupan ikan
Peranan probiotik dalam budidaya akuakultur adalah: 1). Menekan populasi mikroba yang bersifat merugikan yang berada dalam saluran pencernaan dengan cara berkompetisi untuk menempati ruang (tempat menempel) dan kesempatan mendapatkan nutrisi; 2). Menghasilkan senyawa anti mikroba yang secara langsung akan menekan pertumbuhan mikroba pathogen dan mencegah terbentuknya kolonisasi mikroba merugikan dalam sistem pencernaan hewan inang; 3). Menghasilkan senyawa yang bersifat imunostimulan yaitu meningkatkan sistem imun ikan (hewan inang) dalam menghadapi serangan penyakit dengan cara meningkatkan kadar antibodi dan aktivitas makrofag, misalnya lipo polisakarida, glikan dan peptidoglikan; 4). Menghasilkan senyawa vitamin yang bermanfaat bagi hewan inang (yang diberikan probiotik) dan secara tidak langsung akan menaikkan nilai nutrisi pakan. Probiotik adalah bahan hidup yang seperti halnya antibiotik bekerja secara spesifik dan khusus. Demikian halnya, mikro organisma dalam probiotik sangat rentan terhadap kondisi situasi fisika dan kimia dalam saluran pencernaan hewan inang dan kondisi perairan. Lingkungan yang tidak cocok akan membunuh mikro organisma dalam probiotik dan dengan demikian tidak memungkinkan untuk berkompetisi dengan mikro organisma pathogen. Oleh karena itu kapasitas spesies mikro organisme yang digunakan sebagai probiotik apakah dalam bentuk tunggal atau campuran menjadi sangat penting yang menentukan keampuhan probiotik.
Probiotik yang digunakan harus memiliki persyaratan khusus untuk dapat bekerja secara efektif adalah berikut:
  1. Mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan (fisika dan kimia) dan hewan inang.
  2. Mampu bertahan hidup pada suhu rendah dan konsentrasi asam organik yang tinggi di saluran pencernaan, juga terhadap cairan pankreas dan empedu yang dihasilkan di saluran usus halus bagian atas.
  3. Tidak bersifat pathogenik dan menghasilkan senyawa toksik yang merugikan hewan inang.
  4. Mampu hidup dan bermetabolisme dalam saluran usus hewan inang
  5. Dapat diproduksi dalam skala besar (industri) dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga dan terukur.
Sebagaimana antibiotic, probiotik juga tidak dapat diharapkan mengendalikan semua jenis bakteri yang ada di dalam sistem pencernaan ikan ataupun yang terdapat di lingkungan air. Efektivitas probiotik sangat tergantung pada jenis bakteri yang digunakan karena populasi bakteri yang hidup pada suatu lingkungan dengan kondisi fisika kimia berbeda kemungkinan akan berbeda pula. Akan lebih efektif apabila probiotik menggunakan jenis mikroorganisme indigenous (asli) yaitu yang diperoleh berasal dari saluran pencernaan dan lingkungan yang sama / mirip dengan hewan inang, diharapkan mampu beradaptasi dengan lokasi perlakuan dibandingkan jika mikroorganisma diperoleh dari lingkungan yang berbeda.
Efektifitas probiotik tidak dapat dirasakan seketika atau memberikan perbaikan / penyembuhan dalam waktu singkat. Kemanjuran probiotik membutuhkan waktu meskipun tidak berarti bahwa penggunaan probiotik tidak pernah gagal. Kegagalan probiotik bisa terjadi karena disebabkan oleh berbagai hal di antaranya salah penggunaan aplikasi di lapangan, cara penyimpanan probiotik yang salah mengakibatkan menurunnya viabilitas mikroorganisma. Jenis bakteri yang digunakan mungkin saja tidak sesuai dengan kondisi hewan inang, dosis yang digunakan tidak memadai atau kepadatan populasi bakteri dalam probiotik terlalu rendah.
Cara kerja mikro organisma probiotik dalam kaitannya dengan bakteri pathogen meliputi berbagai model yaitu dengan cara menghasilkan senyawa penghambat, berkompetisi terhadap ketersediaan unsur kimia maupun energi, berkompetisi untuk memperoleh tempat perlekatan, meningkatkan respon imun hewan inang, memperbaiki kualitas air lingkungan budidaya, berinteraksi dengan phytoplankton, sebagai sumber nutrisi mikro dan makro, serta menghasilkan enzym untuk meningkatkan kecernaan.
Mikroba pada umumnya dapat melepaskan substansi kimia yang bersifat baktrerisidal ataupun bakteriostatik terhadap populasi mikroba yang lain. Adanya substansi penghambat kimia yang terdapat di dalam saluran pencernaan, di permukaan tubuh inang atau di dalam media pemeliharaan ikan akan menciptakan semacam rintangan untuk mencegah perbanyakan dari bakteri pathogen. Efek anti-bakterial disebabkan oleh produksi beberapa faktor yang bertindak secara sendiri atau dalam kombinasi dari antibiotik, bakteriosin, sideophores, lysozyme, protease dan atau hidrogen peroksida. Produksi asam organik oleh bakteri akan merubah nilai pH. Koloni bakteri yang menempel di dinding saluran pencernaan dengan ekskresi senyawa penghambatnya akan mencegah kolonisasi dan perbanyakan bakteri pathogen di tempat yang sama. Perlekatan bakteri ke permukaan jaringan merupakan tahapan awal dari infeksi pathogenik sehingga kerja bakteri probiotik yang berkompetisi ruang dengan bakteri pathogen menjadi sangat penting untuk pencegahan penyakit. Perlekatan bisa bersifat non spesifik didasarkan atas faktor psikokemis atau bersifat spesifik melibatkan molekul pelekat di permukaan bakteri pelekat dan molekul reseptor dari sel – sel epithel.
Penambahan probiotik apakah via pakan atau ditambahkan ke dalam air apabila diberikan dalam jumlah yang tepat dan jenis mikro organisme yang cocok akan memberikan pengaruh positip bagi performansi ikan yang dipelihara.Selamat berwirausaha! Semoga sukses selalu menanti anda!

Peluang Bisnis Kecap







Kecap adalah salah satu produk hasil fermentasi kedelai yang sudah sangat familier digunakan sebagai penyedap masakan atau teman bersantap. Kecap banyak digunakan sebagai penyedap aneka masakan seperti; soto, bakso, siomay, sate, ikan bakar, soup, dan lain-lain. Tanpa kecap, masakan rasanya terasa kurang nikmat, sehingga konsumen selalu membutuhkannya. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk dan berkembangnya aneka kuliner di Indonesia, permintaan produk kecap juga meningkat terus. Oleh karena itu pangsa pasar kecap cukup besar, baik dalam negeri atau pun luar negeri. Hal ini menjadi peluang bisnis yang masih potensial untuk dijalankan baik skala rumahan atau pabrikan. Di pasaran terdapat dua jenis kecap berdasarkan cita rasanya yaitu kecap manis dan kecap asin. Saat ini, pasar kecap masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Para pelaku usaha industri kecap terdiri dari perusahaan besar dan home industri. Di Indonesia, produsen besar kecap yang memiliki pangsa pasar luas antara lain adalah; PT. Heinz ABC dengan produknya kecap ABC, PT.Unilever dengan nama produknya Kecap Bango, PD Sari Sedap Indonesia dengan nama produknya Kecap Nasional, PT Indofood Sukses Makmur dengan nama produknya Kecap Indofood. Permintaan produk kecap cukup tinggi, sedangkan pasokan belum mampu menetralisir pasar sehingga harga kecap di pasaran masih relatif cukup mahal. Hal ini menunjukan bahwa pasar kecap masih terbuka lebar dan prospektif bagi para pemain baru baik industri skala rumah tangga maupun skala menengah.
Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan produk kecap, karena memiliki bahan baku dan sumber daya manusia yang cukup. Umumnya, bahan baku produk kecap yang beredar di pasaran adalah menggunakan kedelai hitam, kedelai kuning, sari kedelai, atau molases. Produk kecap dengan menggunakan kedelai memang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan menggunakan molases, sehingga harganya lebih mahal. Para produsen kecap umumnya membidik segmen pasar seuai dengan kualitas produknya. Proses produksi kecap dengan menggunakan kedelai yang difermentasi memang dipandang lebih rumit, waktunya lebih lama, dan biayanya lebih tinggi. Namun, kecap hasil fermentasi dengan menggunakan kedelai memiliki cita rasa dan aroma yang lebih baik dibandingkan kecap dengan bahan baku molases. Beberapa produsen kecap mengkombinasi bahan baku molases dengan kedelai fermentasi. Molases merupakan produk samping dari industri gula tebu yang banyak terdapat di daerah Jawa dan Sumatera. Untuk membuka bisnis kecap, maka kita perlu menguasai aspek pasar, teknik produksi, kontinuitas bahan baku, lokasi produksi yang kondusif, tersedia tenaga kerja, dan modal sesuai kapasitas produksi yang diinginkan.
Proses pembuatan kecap relatif sederhana dan tidak membutuhkan teknologi. Secara umum proses pembuatan kecap meliputi; sortasi kedelai, perendaman, perebusan, pendinginan, peragian, fermentasi I, penjemuran, fermentasi II (perendaman dalam larutan garam 20% minimal 1 bulan), penyaringan, pemberian gula dan bumbu pada filtrat, perebusan, pengemasan. Proses fermentasi pada industri kecap menggunakan jamur Aspergillus sojae atau Aspergillus oryzae. Mula-mula kedelai difermentasi dengan kapang Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. menjadi semacam tempe kedelai. Kemudian "tempe" ini dikeringkan dan direndam di dalam larutan garam. Mikroba yang tumbuh pada rendaman kedelai pada umumnya dari jenis khamir dan bakteri tahan garam, seperti khamir Zygosaccharomyces dan bakteri susu Lactobacillus. Mikroba ini merombak protein menjadi asam-asam amino dan komponen rasa dan aroma, serta menghasilkan asam. Kedelai akan terfermentasi pada larutan dengan kadar garam 15 - 20%.
Kedelai yang umumnya digunakan untuk pembuatan kecap adalah kedelai hitam. Beberapa varietas kedelai unggul cocok sebagai bahan baku pembuatan kecap antara lain; Merapi dan Cikuray dengan kadar protein tinggi (42%), Mallika dengan kadar protein (37%), Detam-1 dan Detam-2 memiliki kadar protein lebih tinggi (43 – 44,6%) dan bobot biji lebih besar (14 g/100 biji). Detam-1 dan Detam-2 memiliki potensi hasil 3 – 3,5 ton/ha lebih unggul dibanding varietas Merapi, Cikuray dan Mallika serta beberapa varietas lain berbiji kuning. Tahapan proses pembuatan kecap adalah sebagai berikut:
1. Sortasi Kedelai
Kedelai yang akan diproses menjadi kecap disortasi yaitu memisahkan kedelai dari kotoran-kotoran seperti tanah, batu kecil, daun, batang, kulit kedelai, biji rusak, dan lain-lain.
2. Perendaman
Biji kedelai yang telah disortasi, direndam dalam air bersih selama kurang lebih 7 jam, kemudian ditiriskan.
3. Perebusan dan Pendinginan
Biji kedelai yang telah direndam direbus menggunakan tungku kayu bakar atau dengan steam selama 1-2 jam sampai lunak. Kemudian ditiriskan hingga dingin di atas tampah selama 5-6 jam.
4. Peragian / Inokulasi
Biji kedelai yang telah direbus dan dingin, kemudian ditaburi ragi kecap, aduk sampai rata, kemudian disimpan selama 3-4 hari hingga ditumbuhi jamur.
5. Perendaman dalam larutan garam
Biji kedelai yang telah ditumbuhi jamur, kemudian direndam dalam larutan garam dengan konsentrasi 20% (200 gram garam dalam 1 liter air). Perendaman dilakukan selama kurang lebih satu bulan. Selama proses perendaman, setiap pagi dijemur dengan panas matahari dan diaduk-aduk, kemudian sore hari ditutup lagi dan disimpan.
6. Penyaringan
Setelah proses perendaman dalam larutan garam selama 1 bulan, biji kedelai mengalami fermentasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan penyaringan dengan menggunakan saringan lembut atau kain halus. Sehingga didapatkan filtrat kedelai dan ampasnya dipisahkan.
7. Perebusan II
Tambahkan bumbu halus ke dalam filtrat, tiap 1 liter filtrat ditambahkan 2 Kg gula merah yang telah dilarutkan dengan air 0,5 liter. Rebus dengan menggunakan tungku sambil diaduk-aduk hingga mendidih.
8. Pengemasan dan pasteurisasi
Saring kecap dengan kain halus dan tuang ke dalam botol yang telah disterilkan, kemudian ditutup menggunakan alat penutup botol. Lakukan sterilisasi dengan meletakkan botol ke dalam panci berisi air mendidih kurang lebih selama 30 menit.

Produksi Gaharu Dengan Inokulasi Fusarium




Agrotekno
087875885444
Jual Inokulan Fusarium

Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan yang  memiliki nilai ekonomis sangat tinggi karena harganya sangat mahal di pasaran internasional. Gaharu merupakan bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan obat-obatan. Dalam perdagangan internasional, gaharu dikenal sebagai agarwood, aloeswood,atau oudh. Tanaman penghasil gaharu yang banyak dibudidayakan adalah genus Aquilaria sp., Gyrynops sp., Gonystylus sp., dan Aetoxylonsympetallu. Di Indonesia, tanaman gaharu banyak dibudidayakan di daerah Papua, Kalimantan, Sumatera, Maluku, Nusa Tenggara, Jawa, Sulawesi. Aquilaria malaccensis adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Bagian tanaman penghasil gaharu yang digunakan adalah bagian kayu yang membentuk gubal resin, sebagai produk metabolit sekunder.

Gaharu adalah sejenis resin yang terbentuk karena adanya infeksi pada pohon jenis Aquilaria sp., Gyrynops sp., Gonystylus sp., dan Aetoxylonsympetallu. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang sebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja diinfeksi dengan jenis mikroba tertentu yang bersifat pathogen.  Zat phytalyosin merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon karas dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar ini tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yangmengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000).

Aquilaria malaccensis merupakan family Thymeleaceae, tanaman ini memiliki morfologi atau ciri-ciri fisiologi dimana tinggi pohon ini mencapai 40 meter dengan diameter 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Tanaman ini memiliki bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm,lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing.Daun yang kering berwarna abu-abu kehijaun,agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan mengkilap,tulang daun sekunder 12-16 pasang.Tanaman ini memiliki bunga yang terdapatdiujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun.Berbentuk lancip,panjang sampai 5 mm. Dan buahnya berbentuk bulat telor, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm(Tarigan, 2004).

Aquilaria malaccensis tumbuh dengan baik pada dataran rendah hingga pegunungan dengan  ketinggian 0 – 750 meter dari permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C -  32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Jenis tanah yang sesuai adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2005).

Gaharu terbentuk karena adanya produksi dan akumulasi senyawa resin di dalam jaringan batang tanaman penghasil gaharu. Produksi resin ini merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan fungi patogen. Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon tanaman terhadap adanya cendawan yang masuk kedalam jaringan tanaman yang luka. Luka dapat disebabkan secara alami maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi pathogen. Senyawa  fitoaleksin dapat berupa resin aromatik yang pada gaharu didominasi oleh seskuiterpen dan kromon yang berwarna coklat atau hitam serta merupakan senyawa harum penentu kualitas gubal gaharu. Gubal gaharu adalah bagian dari pohon yang terinfeksi cendawan, berwarna coklat kehitaman dan harum baunya bila dibakar. Serangan patogen menyebabkan terbentuknya resin yang terdeposit pada jaringan kayu, akibatnya jaringan kayu mengeras, berwarna kehitaman dan berbau wangi.

Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang poho kurang lebih 1/3 diameter batang.Diameter infeksi merupakan tahapan cendawan yang berada pada kondisi stabil dan menetap di  dalam sel atau jaringan inang dan memperoleh nutrisi dari inangnya.Cendawan membentuk hifa infeksi setelah cendawan masuk ke dalam sel inang.Hifa infeksi merupakan perpanjangan hifa penetrasi. Pada beberapa cendawan setelah terbentuk hifa penetrasi terbentuk vesikel dan selanjutnya membentuk hifa infeksi. Terakhir cendawan akan menghasilkan haustorium agar dapat memanfaatkan nutrisi sel inang (Mendgen & Deising 1993). Secara umum Fusarium sp. membentuk struktur seperti  haustorium (Kikot et al. 2009). Setelah proses infeksi, cendawan melakukan  kolonisasi dengan berkembang atau memperbanyak diri, atau dua-duanya dalam jaringan tanama.

Reaksi pohon penghasil gaharu tidak sama baik  waktu maupun jenis gubal gaharu yang akan dihasilkannya. Pembentukan kayu gaharu atau gubal disebabkan oleh Fusarium lateritium dan Fusarium popularia tetapi badan penelitian dan pengembangan kehutanan menemukan bahwa semua jenis Fusarium dapat menginfeksi tanaman gaharu dan menghasilkan gubal gaharu. Fusarium sp. termasuk ke dalam kelompok cendawan bermitospora.Bentuk  spora aseksual (konidia) merupakan ciri utama dari cendawan ini.Fusarium sp. memiliki 2 jenis konidia yaitu mikrokonidia memiliki 0-1 septat sederhana yang terdiri atas satu atau dua sel atau makrokonidia yang terdiri atas beberapa sel (2-10 sel) yang berbentuk seperti bulan sabit.Konidia dibentuk di atas monopialid.Selain membentuk makro dan mikro konidia, Fusarium sp. juga membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan dan bahan makan kurang menguntungkan.Selain dapat menginduksi terbentuknya gaharu, Fusarium sp.merupakan cendawan patogen tanaman yang sering menyebabkan berbagai penyakit  pada tanaman seperti busuk pangkal batang, tumor akar (root crown), dan penyakit pembuluh xylem (Groenewald, 2005).

Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin terinfeksi.Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi.Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan. Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun. Gejala yang terjadi bisa teramati beberapa hari setelah tanaman diinokulasi cendawan.Namun, pada pohon gaharu alam yang terbentuk secara alami dan terinfeksi selama bertahun-tahun perubahan warna kayu terbentuk hampir pada semua bagian kayu tapi terjadinya klorosis daun tidak terlihat lagi, sehingga ketika dilihat secara visual tanaman terlihat sehat.

Cendawan kadang menghasilkan senyawa toksin yang disekresikan saat penetrasi jaringan inang untuk merubah fisiologi tanaman dan mengganggu permeabilitas dinding sel tanaman.Terganggunya permeabilitas sel  tanaman akibat ikatan toksin pada membran sel menyebabkan kerusakan struktur membran (Bushnell 1995).Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder  berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh cendawan (Prins et al. 2000). Beberapa jenis toksin yang dihasilkan Fusarium spp. Diantaranya enniatin, fumonisin, sambutoksin, dan trikotesen (Kim et al. 1995).

Keberhasilan cendawan dalam interaksi dengan inangnya bergantung pada strategi cendawan dalam melakukan penetrasi  tanaman inangnya). Interaksi cendawan patogen akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak terhadap terjadinya perubahan visual pada sel, jaringan, atau organ tanaman. Diantara ketiga perubahan visual yang terjadi, perubahan pada tingkat sel memberikan informasi yang lebih akurat tentang terjadinya perubahan fisiologi saat terjadi interaksi cendawan dengan inangnya. Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang diproduksi oleh tumbuhan sebagai respon terhadap luka dan infeksi cendawa. Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa , mulai dari komponen miyak atsiri, yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap, dan senyawa yang tidak menguap yaitu tripernoid daan sterol (Harbone, 1987). Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan.Inokulum memiliki mekanisme bertahan, misalnya dorman pada kondisi inang dan atau lingkungan yang kurang sesuai.

Jual Aneka Isolat Mikroba Untuk Riset





Agrotekno Lab
Jual Isolat Mikroba Dalam Media Agar Untuk Riset
087875885444


A
Absidia corymbifera FNCC
Aspergillus terreus FNCC
Acetobacter aceti FNCC
Atopobium vaginae ATCC BAA-55
Acetobacter xylinum FNCC
Aspergillus versicolor FNCC
Achomobachter xylosoxidans subsp. Xylosoxidans ATCC 27061
Aspergillus wentii FNCC
Acinetobacter baumanni ATCC 19606
Aureobasidium pullulans FNCC
Acinetobacter baumanni ATCC BAA-747
B
Acinetobacter Iwoffii ATCC 17925
Bacillus amyloliquefaciens FNCC
Acinetobacter sp. ATCC 49137
Bacillus amylolyticus FNCC
Acinetobacter sp. ATCC 49139
Bacillus badius ATCC 14574
Acinetobacter sp. ATCC 49466
Bacillus cereus ATCC 11778
Acinetobacter sp. ATCC 9957
Bacillus cereus ATCC 14579
Actinomyces odontolyticus ATCC 17929
Bacillus cereus FNCC
Actinomyces viscosus ATCC 15987
Bacillus coagulans FNCC
Actinomyces viscosus ATCC 43146
Bacillus circulans ATCC 61
Aerococcus viridans ATCC 11563
Bacillus licheniformis ATCC 12759
Aerococcus viridans ATCC 700406
Bacillus macerans Schardinger FNCC
Aeromonas caviae ATCC 15468
Bacillus megaterium  ATCC 14581
Aeromonas hydrophila ATCC 35654
Bacillus megaterium FNCC
Aeromonas hydrophila ATCC 49140
Bacillus polymyxa FNCC
Aeromonas hydrophila ATCC 7965
Bacillus pumilus ATCC BAA-1434
Aeromonas hydrophila ATCC 7966
Bacillus stearothermophilus ATCC 10149
Aeromonas salmonicida ATCC 33658
Bacillus stearothermophillus FNCC
Aeromonas veronii biogroup sobria ATCC 9071
Bacillus subtilis ATCC 6633
Aggregatibacter aphrophilus ATCC 33389
Bacillus subtilis FNCC
Agrobacterium tumefaciens FNCC
Bacteroides fragilis ATCC 23745
Alcaligenes faecalis ATCC 35655
Bacteroides fragilis ATCC 25285
Alcaligenes faecalis subsp. Faecalis ATCC 8750
Bacteroides ovatus ATCC 8483
Alcaligenes xylosoxydans subsp. denitrificans FNCC
Bacteroides ovatus ATCC BAA-1296
Alternaria alternata FNCC
Bacteroides ovatus ATCC BAA-1304
Alternaria alternata TX 8025
Bacteroides thetaiotaomicron ATCC 29741
Aneurinibacillus aneurinolyticus ATCC 11376
Bacteroides uniformis ATCC 8492
Arcanobacterium pyogenes ATCC 19411
Bacteroides ureolyticus ATCC 33387
Arcanobacterium pyogenes ATCC 49698
Bacteroides vulgatus ATCC 8482
Aspergillus awamori FNCC
Bifidobacterium breve ATCC 15700
Aspergillus brasiliensis ATCC 16404
Bordetella brochiseptica ATCC 10580
Aspergillus brasiliensis ATCC 9642
Bordetella brochiseptica ATCC 4617
Aspergillus candidus FNCC
Bordetella pertussis ATCC 12742
Aspergillus flavipes FNCC
Bordetella pertussis ATCC 9340
Aspergillus flavus FNCC
Brevibacterium flavum FNCC
Aspergillus fumigatus FNCC
Brevibacterium lipolyticum FNCC
Aspergillus fumigatus KM 8001
Brevibscillus agri ATCC 51663
Aspergillus japonicus FNCC
Brevibscillus laterosporus ATCC 64
Aspergillus niger FNCC
Brevundimonas diminuta ATCC 11568
Aspergillus niveus FNCC
Brevundimonas diminuta ATCC 19146
Aspergillus ochraceus FNCC
Brochothrix thermosphacta ATCC 11509
Aspergillus orzaye ATCC 10124
Burkholderia cepacia ATCC 17765
Aspergillus oryzae FNCC
Burkholderia cepacia ATCC 25416
Aspergillus parasiticus FNCC
Burkholderia cepacia ATCC 25608
Aspergillus punicius FNCC
C
Aspergillus restrictus FNCC
Campylobacter coli ATCC 33559
Aspergillus sojae FNCC
Campylobacter coli ATCC 43478
Aspergillus tamarii FNCC
Campylobacter jejuni  ATCC 29428
Campylobacter jejuni subsp. Jejuni ATCC 33291
Clostridium histolyticum ATCC 19401
Campylobacter jejuni subsp. Jejuni ATCC 33292
Clostridium novyi ATCC 7659
Candida albicans ATCC 10231
Clostridium novyi Type A ATCC 19402
Candida albicans ATCC 14053
Clostridium septicum ATCC 12464
Candida albicans ATCC 2091
Clostridium sordellii ATCC 9714
Candida albicans ATCC 36232
Clostridium sporogenes ATCC 11437
Candida albicans ATCC 60193
Clostridium sporogenes ATCC 19404
Candida albicans ATCC 66027
Clostridium sporogenes ATCC 3584
Candida albicans ATCC 90028
Clostridium tertium ATCC 19405
Candida curvata FNCC
Corynebacterium diphtheriae ATCC 13812
Candida dubliniensis ATCC MYA-577
Corynebacterium glutanicum FNCC
Candida geochares ATCC 36852
Corynebacterium hoagii FNCC
Candida glabrata ATCC 15126
Corynebacterium jeikeium ATCC 43734
Candida glabrata ATCC 2001
Corynebacterium minutissimum ATCC 23348
Candida glabrata ATCC 66032
Corynebacterium pseudodiphhtheriticum ATCC 10700
Candida glabrata ATCC MYA-2950
Corynebacterium pseudodiphhtheriticum ATCC 10701
Candida guiliermondii ATCC 6260
Corynebacterium renale ATCC 19412
Candida kefyr ATCC 204093
Corynebacterium renale ATCC BAA-1785
Candida kefyr ATCC 2512
Corynebacterium striatum ATCC BAA-1293
Candida kefyr ATCC 66028
Corynebacterium urealyticum ATCC 43044
Candida kefyr FNCC
Corynebacterium xerosis ATCC 373
Candida krusei ATCC 14243
Cronobacter muytjensii ATCC 51329
Candida krusei ATCC 34135
Cryptococcus albidus ATCC 66030
Candida krusei FNCC
Cryptococcus albidus var. Albidus ATCC 10666
Candida lipolytica FNCC
Cryptococcus albidus var. Albidus ATCC 34140
Candida lusitaniae ATCC 34449
Cryptococcus curvatus FNCC
Candida lusitaniae ATCC 42720
Cryptococcus humicolus ATCC 9949
Candida lusitaniae ATCC 66035
Cryptococcus laurentii ATCC 18803
Candida norvegensis FNCC
Cryptococcus laurentii ATCC 66036
Candida parapsilosis ATCC 22019
Cryptococcus laurentii ATCC 76483
Candida parapsilosis ATCC 34136
Cryptococcus neoformans ATCC 14116
Candida parapsilosis ATCC 90018
Cryptococcus neoformans ATCC 204092
Candida tropicalis ATCC 1369
Cryptococcus neoformans ATCC 32045
Candida tropicalis ATCC 201380
Cryptococcus neoformans ATCC 34877
Candida tropicalis ATCC 66029
Cryptococcus neoformans ATCC 56991
Candida tropicalis ATCC 750
Cryptococcus neoformans ATCC 66031
Candida tropicalis FNCC
Cryptococcus neoformans ATCC 76484
Candida utilis ATCC 9950
Cryptococcus uniguttulatus ATCC 66033
Candida utilis FNCC
Curtobacterium pusillum ATCC 19096
Candida wicherhamii FNCC
Curvularia lunata FNCC
Cellulosimicrobium cellulans ATCC 27402
Curvularia sp. KM 8023
Chlamydomucor oryzae FNCC
D
Citrobacter braakii ATCC 10625
Debaryomyces hansenii FNCC
Citrobacter diversus KM 11012
Debaryomyces polymorphus FNCC
Citrobacter freundii ATCC 8090
E
Cladosporium cladosporioides FNCC
Edwardsiella tarda ATCC 15947
Clostridium acetobutylicum FNCC
Eggerthella lenta ATCC 43055
Clostridium barati ATCC 27638
Eikenella corrodens ATCC 23834
Clostridium difficile ATCC 43255
Eikenella corrodens ATCC BAA-1152
Clostridium difficile ATCC 700057
Elizabethkingia meningoseptica ATCC 13253
Clostridium difficile ATCC 9689
Enterobacter aerogenes ATCC 13048
Clostridium difficile ATCC BAA-1870
Enterobacter aerogenes ATCC 35028
Enterobacter aerogenes ATCC 35029
Fusarium longipes FNCC
Enterobacter aerogenes ATCC 49071
Fusarium moniliforme FNCC
Enterobacter cloacae ATCC 13047
Fusarium semitectum FNCC
Enterobacter cloacae ATCC 23355
Fusarium solani FNCC
Enterobacter cloacae ATCC 35030
Fusobacterium mortiferum ATCC 25557
Enterobacter gergoviae ATCC 33028
Fusobacterium mortiferum ATCC 9817
Enterobacter hormaechei ATCC 700323
Fusobacterium necrophorum ATCC 25286
Enterococcus avium ATCC 14025
Fusobacterium nucleatumum ATCC 10953
Enterococcus casseliflavus ATCC 700327
Fusobacterium nucleatumum subsp. Nucleatum ATCC 25586
Enterococcus durans ATCC 11576
Fusobacterium oxysporum ATCC 48112
Enterococcus durans ATCC 49135
G
Enterococcus durans ATCC 49479
Gardnerella vaginalis ATCC 14018
Enterococcus durans ATCC 6056
Gardnerella vaginalis ATCC 49145
Enterococcus faecalis ATCC 19433
Gemella morbillorum ATCC 27824
Enterococcus faecalis ATCC 29212
Geobacillus stearothermophilus ATCC 10149
Enterococcus faecalis ATCC 49149
Geobacillus stearothermophilus ATCC 12978
Enterococcus faecalis ATCC 49452
Geobacillus stearothermophilus ATCC 12980
Enterococcus faecalis ATCC 51299
Geobacillus stearothermophilus ATCC 7953
Enterococcus faecalis ATCC 7080
Geomyces pannorum FNCC
Enterococcus faecalis ATCC 35667
Geotrichum candidum ATCC 34614
Enterococcus faecalis ATCC 51559
Geotrichum candidum ATCC 10663
Enterococcus faecalis ATCC 700221
Geotrichum candidum ATCC 28576
Enterococcus gallinarum ATCC 700425
Geotricum candidum FNCC
Enterococcus hirae ATCC 8043
Gordona rubropertinctus FNCC
Enterococcus raffinosus ATCC 49464
Gordona terrae FNCC
Enterococcus saccharolyticus ATCC 43076
H
Epidermophyton floccosum ATCC 52066
Haemophilus aphrophilus ATCC 19415
Erysipelothrix rhusiopathiae ATCC 19414
Haemophilus haemoglobinophilus ATCC 19416
Escherichia coli ATCC 10536
Haemophilus haemolyticus ATCC 33390
Escherichia coli ATCC 11229
Haemophilus influenzae ATCC 33930
Escherichia coli ATCC 11775
Haemophilus influenzae ATCC 35056
Escherichia coli ATCC 12014
Haemophilus influenzae ATCC 35540
Escherichia coli ATCC 13706
Haemophilus influenzae ATCC 49144
Escherichia coli ATCC 25992
Haemophilus influenzae ATCC 49247
Escherichia coli ATCC 29194
Haemophilus influenzae ATCC 49766
Escherichia coli ATCC 35218
Haemophilus influenzae ATCC 19418
Escherichia coli ATCC 35421
Haemophilus influenzae NCTC 8468
Escherichia coli ATCC 4157
Haemophilus influenzae Type a ATCC 9006
Escherichia coli ATCC 51446
Haemophilus influenzae Type b ATCC 10211
Escherichia coli ATCC 51755
Haemophilus influenzae Type b ATCC 33533
Escherichia coli ATCC 8739
Haemophilus influenzae Type c ATCC 9007
Esherichia coli FNCC
Haemophilus parahaemolyticus ATCC 10014
Eurotium amstelodami FNCC
Haemophilus parainfluenzae ATCC 7901
Eurotium chevalieri FNCC
Haemophilus paraphrophilus ATCC 49146
Eurotium rubrum FNCC
Haemophilus paraphrophilus ATCC 49917
Exiguobacterium aurantiacum ATCC 49676
I
Exophiala jeanselmei ATCC 10224
Issatchenkia orientalis ATCC 6258
F
K
Finegoldia magna ATCC 29328
Klebsiella pneumoniae C6
Fluoribacter bozemanae ATCC 33217
Klebsiella oxytoca ATCC 13182
Fluoribacter dumoffii ATCC 33279
Klebsiella oxytoca ATCC 43086
Fonsecaesa pedrosoi ATCC 28174
Klebsiella oxytoca ATCC 49131
Klebsiella oxytoca ATCC 700324
Listeria monocytogenes ATCC 7644
Klebsiella oxytoca ATCC 8724
Listeria monocytogenes ATCC 7646
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 10031
Listeria monocytogenes ATCC BAA-751
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 13882
Lysinibacillus sphaericus ATCC 4525
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 13883
M
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 27736
Malassezia furfur ATCC 14521
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 33495
Malassezia furfur ST 8036
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 35657
Microbacterium liquefaciens ATCC BAA-1819
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 700603
Microbacterium paraoxydans ATCC BAA-1818
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC 9997
Microbacterium testaceum ATCC 15829
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC BAA 1705
Micrococcus luteus ATCC 10240
Klebsiella pneumoniae subsp. Pneumoniae ATCC BAA 1706
Micrococcus luteus ATCC 4698
Kloeckera apiculata var. Apis ATCC 32857
Micrococcus luteus ATCC 49732
Kloeckera japonica ATCC 58370
Micrococcus lylae ATCC 27566
Kluyveromyces lactis FNCC
Micrococcus sp. ATCC 700405
Kluyveromyces marxianus FNCC
Microsporum canis ATCC 11621
Kluyveromyces thermotolerans FNCC
Monascus purpureus FNCC
Kockovaella thailandica FNCC
Moraxella catarrhalis ATCC 23246
Kocuria kristiane ATCC BAA-752
Moraxella catarrhalis ATCC 25238
Kocuria rhizophila ATCC 533
Moraxella catarrhalis ATCC 25240
Kocuria rhizophila ATCC 9341
Moraxella catarrhalis ATCC 49143
Kocuria rosea ATCC 186
Moraxella catarrhalis ATCC 8176
L
Moraxella osloensis ATCC 10973
Lactobacillus acidophilus ATCC 314
Moraxella osloensis ATCC 19976
Lactobacillus acidophilus ATCC 4356
Morganella morganii FNCC
Lactobacillus acidophillus FNCC
Morganella morganii subsp. morganii ATCC 25830
Lactobacillus brevis ATCC 8287
Mucor plumbeus FNCC
Lactobacillus brevis FNCC
Mucor racemosus FNCC
Lactobacillus bulgaricus FNCC
Myroides odoratus ATCC 4651
Lactobacillus casei ATCC 393
N
Lactobacillus casei FNCC
Neisseria gonorrhoeae ATCC 19424
Lactobacillus delbrueckii subsp. lactis ATCC 12315
Neisseria gonorrhoeae ATCC 31426
Lactobacillus delbrueckii subsp. delbrueckii FNCC
Neisseria gonorrhoeae ATCC 35541
Lactobacillus fermentum FNCC
Neisseria gonorrhoeae ATCC 43070
Lactobacillus gasseri ATCC 19992
Neisseria gonorrhoeae ATCC 49226
Lactobacillus paracasei subsp. paracasei ATCC BAA-52
Neisseria gonorrhoeae ATCC 49926
Lactobacillus plantarum ATCC 8014
Neisseria gonorrhoeae ATCC 49981
Lactobacillus plantarum FNCC
Neisseria gonorrhoeae ATCC 43069
Lactobacillus rhamnosus (Lactobacillus casei subsp. rhamnosus) FNCC
Neisseria lactamica ATCC 23970
Lactobacillus murinus FNCC
Neisseria lactamica ATCC 23971
Lactococcus lactis subsp. lactis FNCC
Neisseria lactamica ATCC 49142
Leclercia adecarboxylata ATCC 23216
Neisseria meningtidis serogroup C ATCC 13102
Leclercia adecarboxylata ATCC 700325
Neisseria meningtidis serogroup A ATCC 13077
Legionella pneumophila ATCC 33823
Neisseria meningtidis serogroup B ATCC 13090
Legionella pneumophila ATCC 33152
Neisseria meningtidis serogroup Y ATCC 35561
Leuconostoc mesenteroides ATCC 8293
Neisseria mucosa ATCC 19695
Leuconostoc mesenteroides subsp. mesenteroides FNCC
Neisseria perflava ATCC 14799
Lipomyces starkeyi FNCC
Neisseria sicca ATCC 29256
Listeria grayi ATCC 25401
Neisseria sicca ATCC 9913
Listeria innocua ATCC 33090
Neurospora sitophila FNCC
Listeria innocua VC 32293
Nigrospora oryzae FNCC
Nitrobacter winogradskyi FNCC
Propionibacterium acidiproprionici ATCC 25562
Nitrosomonas europaea FNCC
Propionibacterium acnes ATCC 11827
Nocardia asteroides CL 11014
Propionibacterium acnes ATCC 6919
Nocardia asteroides FNCC
Propionibacterium propionicus FNCC
Nocardia brasiliensis ATCC 19296
Proteus hauseri ATCC 13315
Nocardia brasiliensis ATCC 19297
Proteus mirabilis ATCC 12453
Nocardia erythropolis FNCC
Proteus mirabilis ATCC 25933
Nocardia farcinica ATCC 3308
Proteus mirabilis ATCC 29245
Nocardia farcinica FNCC
Proteus mirabilis ATCC 29906
O
Proteus mirabilis ATCC 35659
Ochrobactrum anthropi ATCC 49187
Proteus mirabilis ATCC 43071
Ochrobactrum anthropi ATCC 49687
Proteus mirabilis ATCC 7002
Ochrobactrum anthropi ATCC BAA-749
Proteus vulgaris ATCC 49132
Oligella ureolytica ATCC 43534
Proteus vulgaris ATCC 6380
Oligella urethralis ATCC 17960
Proteus vulgaris ATCC 8427
P
Prototheca wickerhamii ATCC 16529
Paenibacillus gordonae ATCC 29948
Providencia alcalifaciens ATCC 51902
Paenibacillus macerans ATCC 8509
Providencia stuartii ATCC 33672
Paenibacillus polymyxa ATCC 43865
Providencia stuartii ATCC 49809
Paenibacillus polymyxa ATCC 7070
Provotella melaninogenica ATCC 25845
Paenibacillus polymyxa ATCC 842
Pseudomonas aeruginosa ATCC 10145
Parabacteroides distasonis ATCC 8503
Pseudomonas aeruginosa ATCC 15442
Parabacteroides distasonis ATCC BAA-1295
Pseudomonas aeruginosa ATCC 17934
Parvimonas micra ATCC 33270
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853
Pasteurella aerogenes ATCC 27883
Pseudomonas aeruginosa ATCC 35032
Pasteurella multocida subsp. multocida ATCC 43137
Pseudomonas aeruginosa ATCC 35422
Pediococcus acidilactici FNCC
Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027
Pediococcus halophilus FNCC
Pseudomonas aeruginosa ATCC 9721
Pediococcus pentosaceus ATCC 33314
Pseudomonas aeruginosa ATCC BAA-1744
Pediococcus pentosaceus FNCC
Pseudomonas aeruginosa FNCC
Penicillium brasilianum FNCC
Pseudomonas cepacia FNCC
Penicillium cammembertii FNCC
Pseudomonas fluorescens ATCC 13525
Penicillium candidum FNCC
Pseudomonas fluorescens FNCC
Penicillium chrysogenum ATCC 10106
Pseudomonas putida ATCC 49128
Penicillium citrinum FNCC
Pseudomonas putida FNCC
Penicillium crustosum FNCC
Pseudomonas stutzeri ATCC 17588
Penicillium funiculosum FNCC
R
Penicillium glabrum FNCC
Ralstonia pickettii ATCC 49129
Penicillium oxalicum FNCC
Rhizomucor miehei FNCC
Penicillium pinophilum FNCC
Rhizomucor pusillus FNCC
Penicillium purpurogenum FNCC
Rhizopus microsporus FNCC
Penicillium roqueforti FNCC
Rhizopus oligosporus FNCC
Peptoniphilus asaccharolyticus ATCC 29743
Rhizopus oryzae FNCC
Peptostreptococcus anaerobius ATCC 27337
Rhizopus stolonifer ATCC 14037
Phialophora verrucosa ATCC 28181
Rhodococcus equi ATCC 6939
Pichia burtonii FNCC
Rhodococcus equi FNCC
Pichia guilliermondii FNCC
Rhodococcus erythropolis FNCC
Pichia ohmeri FNCC
Rhodococcus fascians FNCC
Plesiomonas shigelloides ATCC 14029
Rhodococcus rhodochrous FNCC
Plesiomonas shigelloides ATCC 51903
Rhodosporidium toruloides FNCC
Porphyromonas gingivalis ATCC 33277
Rhodotorula glutinis ATCC 32765
Porphyromonas levii ATCC 29147
Rhodotorula glutinis FNCC
S
Sphingobacterium multivorum ATCC 35656
Saccharomyces bayanus FNCC
Sphingobacterium spiritivorum ATCC 33861
Saccharomyces caribergensis FNCC
Sphingomonas paucimobilis FNCC
Saccharomyces cerevisiae ATCC 4098
Sporidiobolus salmonicolor ATCC MYA-4550
Saccharomyces cerevisiae ATCC 9763
Sporothrix schenckii ATCC 10212
Saccharomyces cerevisiae FNCC
Staphylococcus aureus ATCC 29737
Saccharomyces diastaticus FNCC
Staphylococcus aureus ATCC 35548
Saccharomyces kluyvery FNCC
Staphylococcus aureus ATCC 9144
Saccharomyces pastorianus FNCC
Staphylococcus aureus ATCC BAA-1026
Saccharomyces uvarum FNCC
Staphylococcus aureus ATCC BAA-1708
Saccharomycopsis fibuligera FNCC
Staphylococcus aureus FNCC
Salmonella choleraesuis subsp. choleraesuis FNCC
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 35661
Salmonella enterica serovar Typhimurium ATCC 13311
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 12600
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Anatum ATCC 9270
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 25178
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Choleraesuis ATCC 10708
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 25904
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Enteritidis ATCC 13076
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 33592
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Montevideo ATCC 8387
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 49444
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Newport ATCC 6962
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 49476
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Paratyphi A ATCC 11511
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 51153
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Paratyphi B ATCC 8759
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 6538P
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Typhi ATCC 6539
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 6538
Salmonella enterica subsp. enterica serovar Typhimurium ATCC 14028
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC BAA-976
Salmonella enterica sv Poona NCTC 4840
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC BAA-977
Salmonella FNCC
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 25923
Salmonella sp. Not Typhi group D BF-SD
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 29213
Salmonella sp. Serovar Abony NCTC 6017
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 29247
Salmonella tranoroa NCTC 10252
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 33591
Salmonella typhimurium FNCC
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 33862
Schizosaccharomyces pombe FNCC
Staphylococcus aureus subsp. aureus ATCC 43300
Scopulariopsis acremonium ATCC 58636
Staphylococcus epidermis ATCC 12228
Serovar typhimurium FNCC
Staphylococcus epidermis ATCC 14990
Serratia liquefaciens ATCC 27592
Staphylococcus epidermis ATCC 29887
Serratia marcescens ATCC 13880
Staphylococcus epidermis ATCC 49134
Serratia marcescens ATCC 14756
Staphylococcus epidermis ATCC 49461
Serratia marcescens ATCC 8100
Staphylococcus epidermis ATCC 700296
Serratia odorifera ATCC 33077
Staphylococcus epidermis FNCC
Shewanella putrefaciens ATCC 49138
Staphylococcus haemolyticus ATCC 29970
Shewanella putrefaciens ATCC 8071
Staphylococcus hominis ATCC 27844
Shigella sonei group D ATCC 11060
Staphylococcus lentus ATCC 700403
Shigella sonei group D ATCC 25931
Staphylococcus lugdunensis ATCC 700328
Shigella sonei group D ATCC 9290
Staphylococcus rafinolactis FNCC
Shigella boydii serovar 1 group C ATCC 9207
Staphylococcus saprophyticus ATCC 15305
Shigella dysenteriae group A ATCC 13313
Staphylococcus saprophyticus ATCC 35552
Shigella flexneri serovar 2b group B ATCC 12022
Staphylococcus saprophyticus ATCC 43867
Staphylococcus saprophyticus ATCC 49453
Streptococcus pneumoniae ATCC 6303
Staphylococcus saprophyticus ATCC 49907
Streptococcus pneumoniae ATCC 6305
Staphylococcus saprophyticus ATCC BAA-750
Streptococcus pneumoniae CL 811
Staphylococcus sciuri subsp. sciuri ATCC 29060
Streptococcus pyogenes ATCC 19615
Staphylococcus sciuri subsp. sciuri ATCC 29061
Streptococcus pyogenes group A ATCC 12384
Staphylococcus simulans ATCC 27851
Streptococcus pyogenes group A ATCC 21547
Staphylococcus thermophillus FNCC
Streptococcus salivarius serotype II ATCC 13419
Staphylococcus xylosus ATCC 29967
Streptococcus sanguinis Type 1 ATCC 10556
Staphylococcus xylosus ATCC 29971
Streptococcus sp. Gp D ATCC 9854
Staphylococcus xylosus ATCC 35663
Streptococcus sp. group B ATCC 12401
Staphylococcus xylosus ATCC 49148
Streptococcus sp. group D ATCC 27284
Staphylococcus xylosus ATCC 700404
Streptococcus sp. Type 2 group F ATCC 12392
Stenotrophomonas maltophilia ATCC 13637
Streptococcus thermophilus ATCC 19258
Stenotrophomonas maltophilia ATCC 17666
Streptococcus uberis ATCC 700407
Stenotrophomonas maltophilia ATCC 49130
Streptococcus uberis ATCC 9927
Stenotrophomonas maltophilia ATCC 51331
Streptomyces albus ATCC 17900
Streptococcus agalactiae group B ATCC 12386
Streptomyces griseus subsp. griseus ATCC 10137
Streptococcus agalactiae group B ATCC 13813
T
Streptococcus agalactiae group B CL 810
Tatlockia micdadei ATCC 33204
Streptomyces ambofaciens FNCC
Trichophyton equinum ATCC 12544
Streptococcus bovis ATCC 33317
Trichophyton mentagrophytes ATCC 9533
Streptococcus criceti ATCC 19642
Trichophyton robrum ATCC 28188
Streptococcus dysgalactiae subsp. equisimilis group G ATCC 12394
Trichophyton tonsurans ATCC 28942
Streptococcus dysgalactiae subsp. equisimilis ATCC 35666
Trichophyton verrucosum ATCC 42898
Streptococcus dysgalactiae subsp. equisimilis ATCC 9542
Trichophyton cultaneum ATCC 28592
Streptococcus dysgalactiae subsp. equisimilis group C ATCC 43079
Trichophyton mucoides ATCC 204094
Streptococcus equi subsp. zooepidemicus group C ATCC 700400
V
Streptococcus gallolyticus ATCC 49147
Veillonella parvula ATCC 10790
Streptococcus gallolyticus ATCC 9809
Veillonella parvula ATCC 17745
Streptococcus gallolyticus subsp. gallolyticus ATCC 49475
Vibrio cholerae serotype Inaba ATCC 9459
Streptococcus mutans ATCC 25175
Vibrio parahaemolyticus ATCC 17802
Streptococcus mutans ATCC 35668
Vibrio vulnificus ATCC 27562
Streptococcus oralis ATCC 35037
Virgibacillus pantothenticus ATCC 14576
Streptococcus oralis ATCC 9811
Y
Streptococcus pasteurianus ATCC 49133
Yarrowia lipolytica ATCC 9773
Streptococcus pneumoniae ATCC 27336
Yersinia enterocolitica ATCC 23715
Streptococcus pneumoniae ATCC 49136
Yersinia enterocolitica subsp. enterocolitica ATCC 9610
Streptococcus pneumoniae ATCC 49150
Yersinia kristensenii ATCC 33639
Streptococcus pneumoniae ATCC 49619
Z
Streptococcus pneumoniae ATCC 6301
Zygosaccharomyces bailii ATCC MYA-4549