Wednesday, April 15, 2020

Pemanfaatan Bioteknologi Pada Industri Perikanan






  Sekstor perikanan adalah sektor ekonomi yang sedang digalakan di seluruh dunia. Permintaan komoditas ikan yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan semakin meningkatnya industri perikanan di beberapa negara termasuk Indonesia. Indonesia memiliki wilayah laut yang luas dan perairan daratan yang potensial untuk dikembangkan industri perikanan. Produksi ikan nasional berasal dari ikan tangkap dan hasil budidaya. Kegiatan budidaya ikan secara intensif mulai berkembang di Indonesia seiing dengan meningkatnya permintaan pasar, baik domestik maupun luar negeri. Budidaya ikan air tawar yang sedang popular seperti nila, patin, mujair, lele, mujair dan lain-lain. Saat ini juga sedang digalakan tambak-tambak udang di tepi pantai atau perairan darat, jenis udang yang banyak dibudidauyakan adalah jenis udang vannamei, galah, dan lobster.

Penerapan sistem budidaya intensif dan ramah lingkungan sangat diperlukan guna meningkatkan produksi.  Tingginya angka kematian dan rendahanya konversi pakan (FCR) menyebabkan menurunya produksifitas. Tingginya angka kematian seringkali disebabkan oleh faktor cuaca atau penyakit. Faktor cuaca yang ekstrim seperti hujan yang terus menerus dan suhu yang dingin seringkali menjadi penyebab kegagalan panen pada budidaya udang vannamei. Selain itu, faktor penyebabkan kematian juga dapat disebabkan oleh racun amoniak dan nitrit hasil sisa pakan dan juga limbah berbahaya yang mencemari lingkungan. Untuk menekan angka kematian, para pelaku usaha budidaya perikanan umumnya menggunakan bahan obat-obatan kimia. Penggunaan obat-obatan kimia memang mampu secara efektif menekan berkembangnya penyakit, namun disisi lain efek negatifnya adalah residu bahan kimia pada kimia dapat menjadi masalah kesehatan bagi manusia. Di beberapa negara maju sudah mulai mensyaratkan komoditi ikan yang masuk ke negaranya harus bebas residu kimia. Oleh karena itu pentingnya para pembudidaya perikanan di Indonesia untuk menerapkan best aquaculture practices dalam sertifikasi produk akuakultur yang diekspor, mensyaratkan praktek akuakultur yang ramah lingkungan.

Perkembangan teknologi akuakultur saat ini perlu memfokuskan pada upaya budidaya perikanan yang ramah lingkungan. Saat ini para pembudidaya sudah mulai memanfaatkan mikroba probiotik untuk menekan bakteri pathogen dan memperbaiki kondisi lingkungan air (bioremediasi). Penggunaan probiotik untuk sektor perikanan cukup efektif untuk menekan tingkat kematian dan meningkatkan produksi. Beberapa jenis mikroba mampu meningkatkan konversi pakan (FCR) seperti golongan Lactobacillus. Beberapa jenis mikroba juga mampu menetralisir racun amoniak dan nitrit sisa pakan yang dapat membunuh ikan, beberapa jenis mikroba jenis ini antara lain adalah Nitrobacter, Nitrosomonas, dll. Amoniak (NH3) merupakan hasil dari katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik yang tidak terionisasi melalui insang. Amoniak mengandung unsure Nitrogen dan Hidrogen. Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003).

Beberapa jenis mikroba mampu merombak limbah menjadi bioflock yang dapat menjadi sumber pakan ikan. Penelitian dan penerapan Biofloc adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton.  Bioflok atau Flok merupakan istilah bahasa slang dari istilah bahasa baku “Activated Sludge” (“Lumpur Aktif”) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment). Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflocs.  Bioflocs terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton. Bakteri yang mampu membentuk bioflocs diantaranya:  Zooglea ramigera,  Escherichia intermedia,  Paracolobacterium aerogenoids, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Flavobacterium, Pseudomonas alcaligenes, Sphaerotillus natans, Tetrad dan Tricoda
         Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengatasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam air. Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006): Secara teoritis untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6. 
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari. Kondisi yang mendukung pembentukan Bioflocs; Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator), Karbon dioksida (CO2)
a. Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut. Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflocs jatuh dan mengendap relatif kecil.
b. Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida menjadi salah satu kunci terpenting bagi pembentukan dan pemeliharaan bioflocs. Bakteri gram negatif non pathogen seperti bakteri pengoksidasi sulfide menjadi sulfat ( Thiobacillus, photosynthetic bacteria seperti Rhodobacter), bakteri pengoksidasi besi dan Mangan ( Thiothrix ) dan bakteri pengoksidasi ammonium dan ammonia ( Nitrosomonas dan Nitrobacter ) memerlukan karbon dioksida untuk pembentukan selnya, mereka tidak mampu mengambil sumber karbon dari bahan organic semisal karbohidrat, protein atau lemak. Termasuk juga Zooglea, Flavobacterium, tetrad/tricoda dan bakteri pembentuk bioflocs lainnya. Bahkan Bacillus sendiri, sebagai pemanfaat karbon dari bahan organik dan menghasilkan gas karbon dioksida sebagai hasil oksidasinya, memerlukan karbondioksida dalam pernafasan anaerobnya ketika melangsungkan reaksi denitrifikasi.

No comments:

Post a Comment